Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Politik (PRP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) – Yusof Ishak Institute menyelenggarakan kegiatan bedah buku “The Jokowi-Prabowo Elections 2.0”, Kamis (29/9) di Jakarta. Buku ini memberikan analisis tajam mengenai dinamika pemilu dari berbagai perspektif dan memandu untuk memahami pemilu serentak pada tahun 2024.
Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (IPSH) – BRIN , Ahmad Najib Burhani dalam sambutannya mengatakan proses penulisan buku ini sudah dimulai sejak tahun 2019 dan baru diterbitkan pada tahun 2022. Penerbitan buku ini merupakan kerja sama OR IPSH – BRIN dengan ISEAS Singapura. Buku ini menjadi sangat relevan bagi kita untuk membaca situasi perpolitikan ke depan walaupun konteks yang menjadi latar belakang para penulis adalah pemilu 2019. “Meskipun konteks buku ini menjadi sangat relevan dengan Pemilu 2024, tetapi dasar tulisan-tulisan yang ada di dalam buku ini adalah pada Pemilu 2019,” kata Najib.
Menurutnya buku ini menjadi sesuatu yang penting, karena melihat beberapa hal termasuk tentang politik yang ada di daerah, yang berkaitan dengan cyber, dan sebagainya. Beberapa pengalaman dan praktik atau bahkan permasalahan yang terjadi pada saat pemilu 2019, mungkin masih akan ditemukan lagi ketika menghadapi pemilu 2024 nanti. “Banyak hal yang diangkat dalam buku ini, yang saya kira akan banyak kemiripannya nanti dengan apa yang akan terjadi pada tahun 2024,” kata Najib lagi. Namun, dia tidak bisa memastikan apakah lebih parah dalam konteks polarisasi atau lebih bagus pada saat yang akan datang.
Tetapi, lanjutnya lagi, diskusi-diskusi akademik seperti ini menjadi sesuatu yang penting, khususnya bagi Deputi Kebijakan Pembangunan – BRIN, terutama untuk memberikan masukan kepada pemerintah. “Karena Deputi Kebijakan Pembangunan itu adalah memberikan rekomendasi-rekomendasi terhadap apa yang bisa dilakukan oleh berbagai kementerian dan pemerintah terkait dengan jalannya pemerintahan kita,” ungkap Najib.
Visiting Research Fellow ISEAS – Yusof Ishak Institute, Made Supriyatma mengatakan, buku The Jokowi-Prabowo Elections 2.0 ini merupakan hasil konvensi di ISEAS setelah pemilu tahun 2019. Editor yang juga penulis ini mengungkapkan bahwa 12 tulisan yang ada dalam buku ini sangat menyenangkan untuk diedit karena temanya begitu luas. Buku ini mencoba untuk memahami secara benar-benar apa yang bekerja dan apa yang mungkin konsisten dalam pemilu 2019 yang akan berpengaruh pada pemilu-pemilu berikutnya. “Karena dalam pemilu 2019 merupakan pertama kali dalam politik Indonesia dikenal dengan politik identitas,” jelas Made.
Peneliti Senior Pusat Riset Politik – BRIN, Firman Noor mengatakan bahwa ada kebaruan dalam penyelenggaraan pemilu 2019. Pertama kali digunakannya jurus big data untuk mendapatkan gambaran mengenai seperti apa sebenarnya karakteristik pemilu. “Kemudian ada juga yang agak baru, yakni penggunaan politik identitas,” lanjut Firman yang juga salah satu penulis buku The Jokowi-Prabowo Election 2.0.
Dalam tulisannya, dia menjelaskan bahwa secara umum pemilu 2019 merupakan suatu kontinasi saja dari apa yang belum beres di pemilu-pemilu sebelumnya. Kita seolah-olah terjebak mengamati sesuatu yang baru, tapi pada dasarnya apa yang terjadi di pemilu tahun 2019 itu belum memperbaiki apa-apa yang kurang di 2014. “Akibatnya banyak persoalan-persoalan yang mendasar di dalam pemiltu itu yang membuat saya berpikir sebetulnya kita mengalami stagnasi,” jelas Firman.
Dan ini terjadi secara kontinue dan bahkan di beberapa hal mengalami satu degradasi atau kemunduran. Baik pada saat menjelang pemilu, pada saat pemilu, hari H-nya, dan setelahnya. Mundurnya demokrasi diperparah dengan terjadinya peningkatan pembelahan sosial, yakni kelompok keagamaan dan tradisional. Hal tersebut turut menghambat terjadinya peningkatan demokrasi dalam tatanan masyarakat.
Firman mengungkapkan bahwa ada dua hal yang harus dibenahi ke depan untuk peningkatan demokrasi. Pertama adalah melakukan penguatan partai politik. Partai politik kita harus menjadi partai politik yang modern, partai politik yang bisa mencetak kader-kader yang memahami demokrasi secara utuh. Saat ini banyak partai-partai politik yang nuansa internalnya adalah elitisme. Kedua adalah political education yang menyeluruh ke masyarakat. “Karena di kantong-kantong ketika oligarki itu kuat, ketimpangan ekonomi tinggi, ketidakpahaman terhadap politik itu besar, maka cara-cara yang bersifat anti demokratik yang menyebabkan kita terus stagnan,” ungkap Firman.
“Buku The Jokowi-Prabowo Elestions 2.0 ini cukup bagus dan menarik,” kata Peneliti Senior Pusat Riset Politik – BRIN, Siti Zuhro. Sebagai pembahas dia mengungkapkan bahwa buku ini dihimpun sedemikian rupa, diberikan payung oleh Made Supriyatma dan Hui Yew-Foong dan ditambahkan dengan sangat komprehensif oleh Firman Noor. Sehingga penulis-penulis lain bisa menyempurnakan dari berbagai perspekif.
Melihat pemilu Indonesia dan demokrasi Indonesia, pemilu sebagai bagian dari demokrasi tentunya ini dikeluhkan oleh Indonesianis, oleh mereka yang sangat konsen dengan politik Indonesia. “Kita belum berhasil membangun prakondisi yang bisa mengantarkan demokrasi kita itu betul-betul demokrasi yang utuh yang mengacu pada empat konsensus dasar,” kata Siti Zuhro. Mengacu pada buku The Jokowi-Prabowo Election 2.0, Siti Zuhro mengungkapkan bahwa pemilu 2019 tidak dapat dipisahkan dari pemilu 2014.
Menurutnya, buku ini memberikan kekuatan yang akan menjadi satu pelajaran berharga bagi Indonesia menyongsong pemilu borongan 2024. Bukan lagi pemilu serentak, Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) dan Pemilu Umum Presiden (Pilpres), tetapi ditambah lagi dengan Pemilihan Umum Kepada Daerah (Pilkada) di 272 daerah. Pemilu 2024 masih dua tahun lagi, hangatnya politik Indonesia mulai terasakan. “Salah satu pertanyaannya, masih perlukah pemilu? Jika perlu, untuk siapa?” tanya Siti Zuhro, agak menantang. Jika pemilu ini hanya untuk kepentiingan oligarki, lanjut Siti Zuhro lagi, untuk apa ada pemilu yang menguras habis energi, sehingga kita saling berhadap-hadapan. Untuk itu, Siti Zuhro mengajak para peneliti BRIN, khususnya yang berada di OR IPSH, untuk betul-betul mengawal pelaksanaan pemilu 2024. Kita tidak hanya berhenti dengan peluncuran buku The Jokowi-Prabowo Elections 2.0 ini saja, tapi kita juga melakukan podcast-podcast yang intinya adalah memberikan pencerahan dan pendidikan. “Itulah syiar kita sebagai peneliti untuk ikut membenahi ini semua, supaya masyarakat tidak lagi menjadi obyek,” tegas Siti Zuhro. (arial/ed: and)