Jakarta – Humas BRIN. Pembangunan Ibukota Negara Nusantara (IKN) yang masih bias daratan berpotensi mengabaikan aspek kelestarian lingkungan dan keberlangsungan hidup masyarakat pesisir Teluk Balikpapan sebagai daerah tangkapan ikan bagi nelayan dan rumah bagi satwa yang dilindungi. Hal tersebut menjadi inti dari pembahasan pada Webinar Series #5 IKN berjudul “Teluk Balikpapan dalam Lanskap Pembangunan IKN Nusantara” yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Politik (PRP) BRIN hari Jumat, (7/10).

Kepala PRP BRIN, Athiqah Nur Alami dalam sambutannya mengatakan bahwa webinar ini merupakan rangkaian kegiatan diskusi problematika pemindahan IKN seperti relasi pemerintah adat dan daerah, persiapan regulasi, aspek pertahanan dan keamanan, dimensi internasional dan edisi kali ini adalah lingkungan dan tata ruang khususnya di Teluk Balikpapan.

Jarak Teluk Balikpapan yang tidak jauh dari kawasan IKN menjadikannya sebagai pintu gerbang utama pembangunan IKN. “Hal ini berpotensi mengganggu ekosistem mangrove yang sebagai daerah tangkapan nelayan dengan komoditi ikan dan kepiting. Habitat bekantan dan hewan pesisir lainnya juga dapat dirampas akibat berbagai aktifitas dan pembangunan, sehingga perlu diperhatikan sejauh apa pengelolaan Teluk Balikpapan dalam perencanaan pembangunan IKN” terangnya.

Imam Syafi’i, Peneliti PRP BRIN yang merupakan anggota pengkaji IKN dalam paparannya mengatakan persoalan lingkungan dalam hal ini tata kelola hutan di Kalimantan Timur harus menjadi fokus utama. Deforestasi hutan sebluas 176.000 Ha/tahun telah mengakibatkan alih fungsi lahan dari hutan menjadi industri, perkebunan, pertambangan, dan pertanian subsisten.

Lebih lanjut ia menuturkan konsep kota hutan yang menjadi dasar IKN Nusantara telah diatur dalam Undang-Undang IKN Nomor 3 tahun 2022 dan Peraturan Presiden Nomor 64 tahun 2022 tenang konsep green-blue city menjadi bias daratan karena Teluk Balikpapan tidak masuk dalam wilayah perairan IKN jika di lihat dari peta pembagian wilayahnya. “Padahal ini merupakan pintu gerbang utama IKN melalui Pelabuhan Semayang dan Terminal Kariangau. Teluk Balikpapan juga menjadi pusat pengembangan kelautan dan perikanan di Kecamatan Muara Jawa (RT/RW IKN),” tuturnya.

Ia menjabarkan kondisi eksisting di Teluk Balikpapan saat ini memiliki habitat satwa yang dilindungi seperti bekantan, pesut pesisir, dan dugong serta spesies satwa penting lainnya seperti penyu dan buaya. Kemudian di wilayah tepi Teluk Balikpapan kini telah menjadi Kawasan Industri Kariangau dan Kawasan Industri Buluminung.

Berdasarkan pengamatannya, dengan berbagai aktivitas pembangunan tersebut Teluk Balikpapan tidak lagi berfungsi sebagai area penangkapan ikan nelayan pesisir karena mereka saat ini harus melaut ke selat Makassar untuk mencari ikan. “Konsep Kota Hutan IKN ini mengasingkan Teluk Balikpapan sebagai bagian dari perencanaan pembangunan wilayah hijau,” jabarnya.

Hal senada juga diutarakan oleh Mapaselle Selle selaku Direktur Eksekutif Pokja Pesisir. Ia memperlihatkan sekilas gambaran Teluk Balikpapan yang memiliki posisi strategis memiliki luas daerah aliran sungai sekitar ± 211.456 Ha, luas perairan ± 160 km2, terdapat 22 pulau kecil, dan terletak di tiga wilayah administratif.

Mapaselle mengatakan berdasarkan pengalaman masyarakat lokal, masyarakat pesisir Teluk sudah bermukim sejak ratusan tahun sebagai nelayan. Menurut mereka pada tahun 1970-an mereka dapat mencari ikan tidak jauh dari tempat tinggal, tidak seperti saat ini dimana mereka harus berlayar ke Selat Makassar.

“Dengan ditunjang oleh berbagai fasilitas dan infrastruktur seperti bandara, pelabuhan, dan terminal, serta diapit oleh 2 kota besar, memungkinkan sekali daerah Teluk Balikpapan menjadi destinasi ekowisata yang dapat menarik wisatawan baik dalam negeri maupun mancanegara,” imbuhnya. Sayangnya, terdapat 5 kawasan terumbu karang yang tidak masuk dalam Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KKP3K) IKN.

Keberadaan 2 kawasan industri dan keberadaan kapal-kapal yang berlabuh di Teluk Balikpapan telah memarginalkan masyarakat pesisir karena mempersempit area penangkapan ikan. Pencemaran limbah industri, alih fungsi kawasan mangrove/hutan membuktikan penegakkan regulasi masih lemah di area tersebut. “Padahal hasil tangkapan laut mereka memiliki kualitas ekspor. Sebagai alternatif solusi kedepannya, dengan konsep IKN sebagai kota hijau yang memiliki banyak flora dan fauna langka, ekowisata dapat didorong menjadi mata pencaharian baru bagi masyarakat pesisir,” terangnya.

Syofyan Hasan, Direktur Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan membandingkan tata kelola IKN dengan Jakarta saat ini. “Kita belajar dari tata ruang Teluk Jakarta, betapa rumitnya berbagai jalur pipa gas dan kabel bawah laut bahkan tidak ada kawasan hijau di daerah pesisir,” pungkasnya.

Ia memerinci bahwa IKN memiliki 3 pembagian wilayah, yaitu Kawasan Inti IKN seluas ± 56.180,75 Ha, Kawasan Pengembangan IKN sekitar ± 199.961,95 Ha, dan wilayah Perairan Laut IKN seluas ± 68.189,75 Ha. Status Teluk Balikpapan ditetapkan menjadi area konservasi dari Kota Balikpapan dan masuk kedalam Kawasan Strategis Nasional (KSN) Sasamba.

Selanjutnya ia menjelaskan existing pemanfaatan ruang laut IKN akan memiliki kawasan mangrove di daerah pesisir dan pengaturan infrastruktur kabel bawah laut serta instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang lebih baik dibandingkan Jakarta. Zona perikanan tangkap juga di sediakan bagi para nelayan kecil masyarakat asli pesisir Teluk Balikpapan.

Ia menyimpulkan, secara garis besar perkembangan ekosistem mangrove di Teluk Balikpapan bertambah luas dengan kondisi lebat, pada tahun 2021 ada pertambahan di beberapa area dan sedikit pengurangan namun secara garis besar bertambah. “Jalur migrasi penyu dan hewan laut lainnya juga menjadi perhatian dalam pembangunan daerah pesisir IKN dan harus kita jaga lingkungan tersebut agar IKN dapat menjadi Blue-Green City,” ucapnya. (RBA/ed: And)