Jakarta – Humas BRIN. Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra/ OR ABS) BRIN menyelenggarakan webinar dengan tema “Bahasa, Sastra, Sains untuk Indonesia Maju” pada Jum’at (28/10). Kegiatan tersebut diselenggarakan secara hybrid dengan menghadirkan narasumber Maman Suherman penulis dan pegiat literasi, Ewith Bahar Sastrawan, Ade Mulyanah Kepala Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas BRIN, Obing Katubi Kepala Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra BRIN, serta Moderator Yeni Mada.
Dalam sambutannya, Dr. Hery Jogaswara selaku Kepala OR ABS menyampaikan bahwa webinar ini sangat unik karena ada pembacaan puisi, cerpen, dan ada paparan dari peneliti. Kegiatan yang dilaksanakan di Gedung eks LIPI Gatot Subroto Jakarta ini, walau sudah berintegrasi menjadi BRIN namun gedung ini merupakan capaian pemikiran besar seluruh disiplin ilmu tergambar pada gedung ini.
Hery menyampaikan bahwa kegiatan ini bertepatan dengan hari sumpah pemuda dan bulan bahasa. “Apabila berimajinasi pada tahun 1926 kata bahasa Indonesia belum terbentuk, belum dilahirkan, belum ada identitas masih menjadi perdebatan. Perdebatan-perdebatan pada kongres pemuda tanggal 27-28 Oktober 1928 yang menghasilkan persamaan pandangan yaitu tanah air Indonesia, Bangsa Indonesia, dan Bahasa Indonesia,” tegasnya.
Imajinasi perdebatan antara kelompok Mohammad Yamin dan kelompok Mohammad Tabrani yang lebih dominan adalah bahasa jawa lalu kongres menetapkan bahasa melayu sebagai bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia mudah dipahami dan menjadi pemersatu bangsa hingga saat ini, sejarah panjang sampai 93 tahun lahirlah BRIN tahun 2021 yang merupakan integrasi dari berbagai lembaga dan badan litbang Kementerian dan Lembaga (K/L).
OR ABS membawahi 7 pusat riset perlu dikelola secara adil. Kondisi bahasa sastra jangan melihat ke belakang dengan menoleh namun, ibarat naik sepeda motor melihat dengan spion. Hery berharap bahwa periset dapat menghasilkan produk ilmu pengetahuan yang monumental dan menjadi rujukan baik tingkat Internasional maupun regional (Asia Tenggara). Hasil riset memiliki peran penting dan berkontribusi dalam kebijakan serta isu-isu penting, webinar membahas Indonesia Maju dengan konsep pembangunan berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs) dengan melakukan riset.
Setelah sambutan, acara kemudian dilanjutkan paparan pertama yang disampaikan oleh Maman Suherman seorang penulis dan pegiat literasi yang membahas tentang Indonesia Maju Indonesia Rekat, beliau menyampaikan bahwa bahasa merupakan buah dari konsensus (peradaban), bersama buah (pendidikan) peradaban lewat konvensi dan kesepakatan untuk berkomunikasi secara sadar dengan memilih simbol-simbol huruf, abjad, termasuk di dalamnya buah dari sumpah bersama. Pernyataan sikap dalam menghadapi sesuatu imaji tentang masa depan yang dicita-citakan dalam sumpah pemuda.
Bahwa Indonesia maju itu menempatkan keberagaman kebhinekaan bukan untuk diseragamkan. Menurut World Economic Forum (Forum Ekonomi Dunia) ada 10 keterampilan kerja paling dibutuhkan tahun 2025 yaitu mampu berpikir secara analitis dan inovatif, pembelajaran aktif (active learning) dan mandiri, ahli dalam menyelesaikan masalah yang komplek, berpikir kritis dan mampu menganalisis, kreatif punya orisinalitas dan inisiatif, kemampuan memimpin dan memberikan pengaruh sosial, andal menggunakan teknologi, mampu merancang teknologi dan melakukan programming, punya resilien toleransi stres dan fleksibilitas tinggi, serta terakhir memiliki daya nalar mampu merumuskan ide dan pandai mencari solusi masalah.
Paparan dilanjutkan oleh Ewith Bahar, seorang sastrawan yang membahas tentang kecerdasan literasi indikasi kemajuan bangsa. Beliau menggambarkan posisi Indonesia di peta sastra regional cukup menggembirakan jika mencermati nama-nama yang sudah diakui lewat penerimaan penghargaan SEA Write Award dari Thailand atau Ramon Magsaysay Award dari Filipina. Kendala yang harus ditaklukkan untuk meningkatkan level kecerdasan literasi budaya menonton masih tinggi terlalu senang hiburan, stimulasi dari keluarga kurang agresif, daya beli buku masih rendah, penulis kekurangan dukungan dan fasilitas.
Paparan selanjutnya oleh Ade Mulyanah Kepala Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas BRIN. Ade menyampaikan terkait menakar jalan bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Ade menyampaikan mengapa bahasa Indonesia harus mendunia berbicara sejarah bahasa Indonesia merupakan alat pemersatu bangsa yang telah terikrar sejak sumpah pemuda 28 Oktober 1928 dan sesuai amanat UUD tahun 1945 pasal 36 dan Undang-undang No.24 tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara serta lagu kebangsaan. Kemudian pasal 44 tentang internasionalisasi bahasa Indonesia. Menurut teori Sapir Whorf (1952) dalam teori relevansi bahasa, kemampuan ekspresi suatu bahasa berbeda karena bahasa adalah refleksi dari cara penuturnya memandang dunia, cara manusia memandang dunia tercermin dalam bahasanya.
Paparan penutup dihantarkan oleh Obing Katubi, Kepala Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra BRIN yang membahas Bahasa Indonesia sebagai perekat mosaik kebhinekaan, beliau menyampaikan bahwa sejarah dunia tentang terbentuknya negara-bangsa yang multilingual. Para pendiri bangsa dipusingkan dengan pemilihan bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan sebagai identitas nasional, bahkan pemilihan bahasa nasional itu dapat menimbulkan konflik berkepanjangan dalam suatu negara, sebagai contoh seperti India dan Filipina. “Bahwa simbolisasi persatuan Indonesia melalui bahasa bisa dilihat dari nasionalisme Indonesia dapat dirunut berdasarkan sejarah pergerakan Indonesia. Melalui Sumpah Pemuda menghasilkan tritunggal satu bangsa, tanah air, dan bahasa,” tandas Obing. Bahasa dipilih sebagai pengikat persatuan dalam pembentukan bangsa dan tanah air sebagai pengobar nasionalisme pemikiran antar berbagai kelompok etnis. Hal ini hanya akan terhubung melalui bahasa, pemikiran yang tertuang dalam bahasa mempercepat upaya mengobarkan nasionalisme keindonesiaan dan kesatuan, kesadaran tentang pembentukan identitas budaya dalam pembentukan bangsa yang multi etnik, kesadaran tentang pentingnya bahasa sebagai bagian dari ideologi nasional yang dapat mengatasi sekat agama, kelompok etnis dan kelompok sosial. (SUR/ed: SGD)