Jakarta – Humas BRIN. Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra), Dr. Herry Jogaswara memberikan apresiasi atas terselenggaranya webinar ini. “Bagaimana teman-teman dari arkeometri khususnya, mencoba menerjemahkan berbagai riset ini ke dalam ranah publik dan mudah dipahami oleh publik. Saya kira itu yang tantangan paling besar, riset ini punya satu domain ilmu tertentu,” ujarnya. Acara bertajuk “Rekam Jejak Paleodiet Para Penghuni Awal Nusantara” ini diselenggarakan oleh Pusat Riset Arkeometri, OR ABS BRIN pada Senin (31/10).

Tema Paleodiet sendiri bagi Herry juga merupakan istilah yang jarang terdengar. Konsen dari setiap ilmu itu nantinya adalah bagaimana riset-riset yang berkaitan dengan masa lalu kemudian kita akan coba hubungkan dengan permasalahan yang ada pada situasi kekinian. Jadi bagaimana pola makan masa lalu itu ya? Kemudian dikaitkan juga dengan kondisi ekosistem pada masa lalu. Sebagai antropolog misalnya, Herry menjelaskan dahulu beliau mempelajari intensif tentang sejarah Padi. “Kita sering menyebut bahwa Dewi Sri itu sebagai dewi padi, padahal menurut temuan-temuan yang lain. Contohnya Dewi Sri itu bukan hanya dewi padi, namun dewi keragaman pangan juga. Berbagai tumbuhan biji-biji yang memang dihasilkan dalam legenda itu ya, tetapi mungkin saya kira yang perlu kita lihat dari moral cerita itu adalah ke depannya,” ujarnya.

Herry menambahkan, apakah peradaban manusia saat ini semakin monokultur dari sisi pangan, sisi makanan di mana bahwa apapun yang monokultur itu berbahaya. Dari sisi yang bersifat makanan pokok. Bicara makanan pokok hanya bicara tentang beras, sagu, jagung jadi semakin terbatas gitu ya. Mungkin di beberapa daerah ada umbi-umbian termasuk ubi jalar dan talas di wilayah pegunungan.

Herry mengajak kita mewaspadai sejak sekarang tentang bagaimana sebetulnya apa persoalan pangan ini ketika menjadi monokultur dan diharapkan riset-riset walaupun masa lalunya sangat panjang, mungkin bisa memberi inspirasi. Sebentar lagi akan dibuka pendanaan untuk apa eksplorasi dan ekspedisi. Herry mengharapkan para peneliti BRIN, khususnya arkeometri maupun di arkeologi untuk bisa terlibat dalam kegiatan eksplorasi dan ekspedisi karena kegiatan ini lebih fokus untuk mengumpulkan spesimen.

Paleodiet: Isotope Stabil dan Pengaplikasiannya dalam Arkeologi adalah judul paparan yang disajikan narasumber pertama, Dr. Marlin Tolla. Marlin menjelaskan mengenai abstraknya terlebih dahulu. Elemen tubuh manusia modern dipaparkan secara detail oleh Marlin. Bagaimana makanan vegetatif berproses mulai dari fotosintesis hingga kandungannya yang akan masuk ke tubuh manusia. Rumus penyusunan Karbon Isotop juga dijabarkan oleh Marlin.

Selanjutnya, Marlin menjelaskan makanan produk hewani berikut rantai makanannya. Dalam hal ini, Marlin mengambil sampel di Papua. “Penduduk dataran rendah pada masa akhir Holosen di Papua berfokus pada makanan yang didapatkan dari hutan hujan dan juga sumber perairan laut dalam memenuhi kebutuhan makanan,” ujarnya. Marlin juga berharap perlunya sisa-sisa material organik untuk dianalisis stable isotope untuk mendukung hasil dari studinya.

Peneliti kelompok riset paleoantropologi BRIN, Restu Budi Sulistyo memberikan paparan berjudul “Paleodiet Moluska”. Di dalamnya, Restu menjelaskan mengenai Zooarkeologi di mana ilmu tersebut mempelajari sisa-sisa peninggalan fauna yang ada di situs arkeologi. Jejak-jejak tersebut bisa berupa gigi, tulang, tanduk, kulit, cangkang, karapas, plastron, dsbnya. Ilmu ini bertujuan untuk mengetahui interaksi manusia dan fauna sebagai konsekuensi dari hubungan manusia dengan lingkungannya.

Kenapa Moluska? Karena Moluska ditemukan hampir di seluruh situs sejarah, peninggalannya melimpah karena cangkangnya tidak dikonsumsi. Morfologi cangkang juga mudah untuk dipelajari, karena cangkang bisa menggambarkan fauna secara utuh. Restu juga menjelaskan bagaimana untuk mengidentifikasinya. Siput dan kerang menjadi inang bagi beberapa parasit dan logam berat. Pada zaman dahulu tidak ada pencemaran, sehingga aman. Paleodiet juga bisa diadopsi oleh masyarakat modern, mengadopsi apa pola makan Manusia Purba/Manusia Gua yang dinilai lebih sehat. Buah, sayuran, biji & kacang-kacangan, umbi, hewan buruan bukan hewan ternak, tidak menggunakan minyak, tidak mengolah biji, menghindari gula & garam, produk susu, hingga makanan instan dan kalengan. (SGD)