Jakarta – Humas BRIN. Waruga merupakan peti kubur batu yang digunakan untuk meletakkan mayat atau orang yang telah meninggal pada masa megalitik di Minahasa, Sulawesi Utara. Waruga merupakan sarana penguburan yang dianggap penting pada saat itu dan merupakan manifestasi dari penghormatan masyarakat terhadap leluhur atau nenek moyangnya.
Hal ini dikatakan Ipak Fahriani, Peneliti di Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah (PR – APS) BRIN, pada Webinar Forum Kebhinnekaan Seri ke-10, Kamis (24/11). Webinar yang diselenggarakan secara rutin oleh pusat riset ini mengusung tema “Jejak Kubur Megalitik di Nusantara Sebagai Salah Satu Penanda Budaya Austronesia pada Masa Logam Awal”.
Budaya megalitik masuk dan berkembang di Sulawesi Utara, terutama di Minahasa. Hal ini ditandai dengan peninggalan berupa peti kubur batu, menhir, altar batu, dolmen, lumpang batu, lesung batu, dan lain-lain. Peti Kubur Batu (stone cist grave) yang ditemukan di Minahasa memiliki sebaran yang cukup banyak. “Hampir di setiap wilayah Minahasa ditemukan obyek megalitik ini,” jelas Ipak yang menguraikan hasil penelitiannya.
Lebih lanjut Ipak menjelaskan bahwa ukuran waruga bervariasi pada masing-masing situs atau tempat. Mulai dari yang berukuran besar (>100 cm), ukuran sedang (50-100 cm), hingga yang berukuran kecil (<50 cm). Hiasan atau motif hias, juga dijumpai pada sebaran waruga di Minahasa. Namun, ada pula waruga yang tidak memiliki hiasan/ motif atau polos. Hiasan yang ditemukan pada waruga berupa hiasan motif manusia, hewan (fauna), dan tumbuhan (flora) yang distilirisasi maupun bentuk aslinya, dan pola-pola geometri (kombinasi), serta motif gada/ jumbai/ buah kabalas.
Pada masa lalu, masyarakat percaya bahwa apabila manusia meninggal dunia, maka rohnya akan pindah ke alam lain dan tetap hidup di alam tersebut. Oleh karena itu, perlu disediakan perlengkapan dan alat untuk beraktivitas di alam tersebut. “Biasanya dalam waruga disertakan bekal kubur, untuk memberi harapan agar orang yang meninggal tersebut berkecukupan dan tidak akan kekurangan selama perjalanan ke alam lain,” jelas Ipak.
Orang Minahasa mulai meninggalkan penggunaan wadah kubur waruga sejak tahun 1892, ketika wabah kolera menyerang Minahasa. Wabah tersebut menyebabkan banyaknya orang yang meninggal, sehingga ketersediaan waruga tidak terpenuhi. Ada himbuan kebijakan untuk menguburkan mayat dengan cara menggali tanah sesuai dengan ajaran Kristen yang mulai masuk ke Minahasa.
Webinar yang juga tayang di channel youtube BRIN Indonesia ini, dibuka oleh Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra) BRIN, Herry Yogaswara. Dalam sambutannya, Herry mengatakan bahwa webinar ini penting dari sisi proses produksi pengetahuan dan pemahaman kita terhadap masa-masa prasejarah, masa-masa megalitikum, masa-masa logam awal. Menurutnya, kita tidak bisa melihatnya dari satu perspektif arkeologi saja. Ada banyak metode keilmuan lain yang untuk melihat problem ini secara lebih luas. “Apalagi di BRIN sendiri ada Organisasi Riset Metalurgi dan Organisasi Riset lainnya, yang juga tertarik dan bisa berdiskusi lebih jauh tentang arkeologi dengan ilmu-ilmu lain,” pungkas Herry.
Sementara itu, Kepala PR – APS BRIN, Irfan Mahmud dalam pengantar webinar menjelaskan bahwa webinar seri ke-10 ini merupakan satu tema yang dikembangkan oleh Kelompok Riset Austronesia dalam dua lokus kasus. Lokus yang pertama adalah Lokus Sulawesi dan yang kedua adalah Lokus Jawa atau Banyuwangi. “Dua hal ini akan menggambarkan satu ciri temuan megalitik yang dianggap sebagai salah satu pengaruh di era-era sekitar 2500 SM dan terus berlanjut hingga sekarang,” imbuh Irfan.
Irfan mengungkapkan, kebudayaan megalitik itu masih ada sampai pada hari ini, baik itu di Toraja, Nias, dan beberapa tempat yang lain. Karena itu kebudayaan megalitik ini merupakan sesuatu yang pantas untuk terus dikaji dan diskusikan, menjadi bahan pembelajaran, terutama nilai-nilainya. “Banyak nilai-nilai di era ini yang terus sampai kepada kita, seperti kegotongroyongan, kemudian pengelompokkan struktur sosial, itu masih ada sampai hari ini,” ungkap Irfan.
Ia berharap dua lokus diskusi webinar hari ini akan memberikan perspektif mengenai darimana pengaruh masing-masing megalitik yang ada di Jawa dan Sulawesi. Apa perbedaan antara lokus itu dan sejauh mana budaya-budaya itu masih berlanjut sampai sekarang. “Kita berharap bahwa diskusi ini akan memberi dampak bagi perkembangan dalam studi-studi periode megalitik di kemudian hari,” harap Irfan. Webinar seri ke-10 ini menghadirkan empat narasumber yang semuanya perempuan dari PR – APS. Keempat narasumber berasal dari Kelompok Riset Austronesia yang memaparkan hasil penelitiannya. Narasumber pertama, Sri Wigati yang memaparkan tentang Dolmen: Penutup Kubur di Pulau Sangihe dan dilanjutkan narasumber kedua, Ipak Fahriani yang mengungkap tentang Waruga: Wadah Kubur di Minahasa, Sulawesi Utara. Narasumber ketiga Dwi Yani Yuniawati Umar, mengangkat judul Jejak-jejak Penguburan Masa Logam Awal di Kawasan Dataran Tinggi Lore, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Dan narasumber keempat, Putri Novita Taniardi yang membahas Kubur Dolmen di Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. (arial)