Jakarta – Humas BRIN. BRIN bersama United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) Jakarta dan Komite Nasional Indonesia untuk Management of Social Transformation Program (MOST-UNESCO) meghelat kegiatan LAB Kebijakan MOST bertemakan “Meningkatkan pemahaman terkait kecerdasam artifisial (Artificial Intelligent/AI) dan etika penggunannya untuk inklusi sosial” di Kampus BRIN Kawasan Gatot Subroto Jakarta, pada Selasa (6/12)

LAB Kebijakan MOST adalah bentuk kebijakan yang akan mempromosikan kerja sama antara otoritas nasional, kesatuan ilmiah, dan organisasi disabilitas untuk memperkuat hubungan antara penelitian dan kebijakan, serta antara ilmu pengetahuan dan implementasinya. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif Komite Nasional Indonesia untuk Program MOST-UNESCO, Nuke Pudjiastuti dalam sambutannya.

Nuke menjelaskan acara ini bertujuan untuk menandai aksi internasional mengenai penyandang disabilitas dan juga dikenal sebagai tahun UNESCO dalam meluncurkan rekomendasi etika kecerdasan artifisial sebagai instrumen global yang mendorong perumusan serta implementasi kebijakan dan peraturan baik nasional maupun internasional untuk memastikan bahwa teknologi kecerdasan artifisial dibutuhkan oleh umat manusia secara keseluruhan termasuk penyandang disabilitas.

Lebih lanjut, Nuke menyebutkan bahwa para penyandang disabilitas harus mendapatkan akses dan dukungan serta perlindungan yang baik ke dalam kecerdasan artifisial agar mereka dapat lebih mudah dalam melakukan berbagai hal. “Kita semua menyadari sebenarnya bahwa mereka menghadapi banyak tantangan masalah. Tapi saya percaya bahwa instrumen AI harus bisa menjadi pendukung mereka,” katanya.

Seperti yang diketahui, saat ini penggunaan kecerdasan buatan telah diimplementasikan hampir di semua sektor. Hal ini sejalan dengan visi Presiden Indonesia, Joko Widodo yaitu mempercepat transformasi digital. Oleh karena itu, ungkapnya, penyandang disabilitas sebagai warga negara Indonesia juga memiliki hak yang sama untuk mengakses dan mendapatkan segala manfaat program kecerdasan artifisial untuk membantu mereka agar dapat mereka manfaatkan termasuk untuk pembangunan nasional. Nuke juga menekankan istilah no one should be left behind, yang berarti tidak boleh ada satu orang pun yang tertinggal.

Walaupun begitu, Nuke mengigatkan meskipun pengakuan dan tuntutan akan kecerdasan artifisial semakin meningkat, sebagian besar pembuat keputusan dan bahkan mungkin termasuk kita semua tidak sepenuhnya memahami bagaimana teknologi ini bekerja dan konsekuensinya terutama pada implikasi etis dari penerapan kecerdasan artifisial. “Inilah alasan mengapa pertemuan ini penting bagaimana memenuhi kebutuhan kemampuan yang tepat untuk penguatan dan pengembangan AI,” ujarnya.

Pembicara berikutnya, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Itje Chodidjah menyampaikan transformasi digital harus menempatkan manusia sebagai pusat pengembangannya. Dengan mengutamakan manusia, kita semua ditantang untuk menilai secara kritis adopsi teknologi, termasuk kecerdasan artifisial. “Pertanyaan besarnya adalah, siapa yang akan mendapatkan keuntungan dan siapa yang akan mendapatkan kerugian terhadap teknologi tersebut. Bagaimana kita dapat hidup berdampingan dengan kemajuan teknologi yang berkembang sangat pesat dengan tetap mengedepankan etika implementasinya untuk inklusi sosial,” imbuhnya.

Pada kesempatan tersebut, Mohamed Djelid, Direktur dan Perwakilan Biro Sains Regional UNESCO untuk Asia dan Pasifik berharap Lab Kebijakan MOST yang baru pertama kali digelar ini dengan berfokus pada tema etika kecerdasan artifisial dan disabilitas dapat dijadikan sebagai program percontohan di regional Asia Tenggara, memberikan kesempatan yang sangat baik bagi kita semua khususnya untuk membahas tentang kecerdasan artifisial dan juga sebagai tempat stimulasi ide-ide baru yang berkaitan dengan kecerdasan artifisial bagi penyandang disabilitas.

Deputi Kebijakan Pembangunan BRIN, Mego Pinandito memberikan contoh bahwa melalui teknologi ponsel pintar dapat membantu kita untuk menggambarkan perasaan dan emosional seseorang dengan visual emoticon. Dengan bantuan kecerdasan artifisial, teknologi juga dapat mengubah suara menjadi teks kalimat percakapan dan juga sebaliknya, namun ada yang hilang dari hal tersebut yaitu perasaan dan emosional yang tidak dapat tergambarkan seperti dalam percakapan antar manusia pada umumnya.

Oleh sebab itu, sebutnya, dalam pengembangan teknologi kecerdasan artifisial, para periset dapat mempertimbangkan untuk menempatkan beberapa sistem ekstra yang dapat menyerap perasaan penyandang disabilitas dan memasukkannya ke dalam sistem itu sendiri.

Ketua Umum Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA), Hammam Riza menyampaikan, untuk mewujudkan kecerdasan artifisial yang beretika dapat berdasarkan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Pengembangan kecerdasan artifisial harus berpedoman dan berlandaskan Pancasila dengan tujuan untuk kemaslahatan masyarakat luas. Dengan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat setiap individu, serta memperhatikan cara pandang masyarakat Indonesia untuk kepentingan masyarakat luas.

“Dengan orientasi tujuan tersebut, kecerdasan artifisial harus bernafaskan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dengan prinsip-prinsip Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan, Kewarganegaraan, dan memajukan kesejahteraan rakyat melalui perspektif kekeluargaan yang berkarakter,” sebutnya.

Untuk mewujudkan hal tersebut, Hammam memerinci kecerdasan artifisial harus mampu menghasilkan produk yang relevan dengan kebijakan dan menjamin keamanan bagi masyarakat. Kemudian dapat enciptakan iklim kecerdasan artifisial yang kondusif bagi semangat nilai-nilai Pancasila, dan berorientasi pada ketahanan nasional. Selain itu dapat terciptanya ekosistem yang kondusif bagi semangat nilai-nilai Pancasila, dan berorientasi pada ketahanan nasional. Tidak terlupakan juga terciptanya ekosistem yang kondusif bagi penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap) kecerdasan artifisial. Terakhir adalah terwujudnya sinergi dan efektifitas pemantauan pemanfaatan kecerdasan artifisial.

Undral Ganbaatar, Kepala Unit Ilmu Sosial dan Kemanusiaan UNESCO Jakarta menerangkan rekomendasi etika kecerdasan artifisial telah diadopsi secara aklamasi oleh 193 negara anggota pada 23 November 2021, termasuk Indonesia dan negara ASEAN lainnya. Rekomendasi tersebut memberikan jalur yang konkret dan dapat ditindaklanjuti untuk menerjemahkan nilai dan prinsip ke dalam kebijakan, praktik, dan tindakan di berbagai bidang. (RBA/ed:AND)