Jakarta – Humas BRIN. Bulan November – Desember merupakan bulannya Papua. Karena banyak peristiwa penting di Papua termasuk adanya pemekaran provinsi baru menjadi enam Provinsi. Harapannya, dapat membuka kesempatan pada pendidikan, kesejahteraan, dan sebagainya. Demikian disampaikan Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH), Ahmad Najib Burhani, saat memberikan sambutan pada webinar Dialog Dinamika Pendidikan di Papua: “Visi Pendidikan Anak Muda Papua”.

Najib mengisahkan, saat bertemu dengan Rektor Muhammadiyah Papua, pendidikan di Papua yang sudah dibangun di antaranya hal-hal yang terkait dengan alam/biodiversity. Maka kampusnya kelak akan disesuaikan dengan alam Papua, penduduk asli Papua, serta entitas bahasa Papua. Ada tiga kelompok yang aktif mengajar di Papua, yaitu kelompok agama seperti fungsionaris Kristen (Univ. Kristen Satya Wacana) dan Islam (Univ. Muhammadiyah), para tentara, serta guru.

Najib juga menjelaskan, minat ini untuk melakukan ekspedisi dan eksplorasi Papua yang terkait dengan pendidikan. Dengan ekspedisi tersebut, ia berharap keterlibatan institusi lain untuk ikut ekspedisi, masuk ke kelompok suku terasing atau suku baru. Diharapkan adanya suku baru yang selama ini belum pernah ditemukan oleh sejarawan/etnografer sebelumnya. Ekspedisi dan eksplorasi ini rencananya di biayai oleh BRIN dan melibatkan orang asli Papua, seperti Marcopolo. Akan tetapi, tidak harus keliling dunia namun cukup mengelilingi sungai-sungai atau hutan-hutan yang ada di perbatasan.

Najib berpendapat, Kepala BRIDA Papua sedang merancang penelitian terkait pendidikan di Papua. ”Kita berharap bisa membuka semua perspektif yang diinginkan Papua pada pendidikan di sana agar menjadi lebih baik, ibaratnya menjadi bintang di sana,” ujarnya.

Luis Fenetruma, Peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN, memaparkan permasalahan lokasi sekolah di beberapa tempat yang memiliki akses atau jarak tempuh cukup jauh sekira 1-2 Kilometer, seperti wilayah Maladofok Kabupaten Sorong. Permasalahan lainnya ada pada tenaga pendidik, di mana justru guru honorer yang sering datang mengajar sedangkan guru PNS tidak menjalankan tugas secara baik. Hal ini disebabkan salah satunya dari pemberian gaji/ tunjangan guru yang terlambat maka berdampak pada kehadiran guru di tempat tugas.

Luis berpendapat, hadirnya Otonomi Khusus bagi masyarakat Papua salah satunya adalah program pemberian beasiswa untuk sekolah dasar sampai peguruan tinggi yang diperuntukan bagi anak yang tidak mampu. Untuk kurikulum perlu menjadi perhatian karena beberapa daerah yang tidak terjangkau teknologi atau jaringan internet kadang masih pakai kurikulum lama. Dan kurikulum diupayakan lebih memperbanyak praktik karena pola pikir dan interaksi langsung dengan suatu objek lebih cepat dimengerti oleh siswa dibandingkan pemberian teori.

Bagi Luis, menurutnya lain halnya pendidikan anak di daerah konflik. Sebab perlu mendapat perhatian penuh dari pemerintah Kabupaten, Provinsi ataupun Pusat. Budaya atau adat masih dijalankan, di mana bila ada permasalahan, penyelesaiannya melalui denda adat berupa uang dan barang. Hal ini berdampak pada kelompok keluarga. Uang yang disimpan untuk kepentingan pendidikan anak harus dipakai untuk membayar denda adat.

Pada kesempatan yang sama, Fitalia Tumuka, mahasiswa Unika Soegijpranata mengutarakan ada tiga faktor utama yang menghambat pendidikan di Distrik Mimika Baru/ Papua. Kendalanya terdapat pada guru, fasilitas/ sarana, dan prasarana sekolah, dan alam. Gaji guru yang rendah mengakibatkan banyak yang tidak mau jadi guru. Dan bila ada, guru seharusnya selalu hadir, karena guru datang saat mau gajian/ menerima tunjangan saja. Faktanya, mengenai profesi guru yang membawa berkah ternyata tidak karena berbanding terbalik.

Lebih jauh, Fitalia menyampaikan tidak ada pembuktian dari pemerintah dalam pemberian fasilitas, sedangkan banyak murid yang mengharapkannya. Sebagian besar anak tidak bersekolah, seharusnya anak-anak belajar di bangku sekolah, ternyata malah mengikut orang tua untuk mencari nafkah. Guru seharusnya hadir untuk membantu menjelaskan ke orangtua akan pentingnya pendidikan.

Diharapkan profesi guru dapat memberi penekanan untuk memberikan pengetahuan pada anak. Dalam hal ini, anak-anak tetap semangat untuk keinginan bersekolah. Pemerintah harusnya memberikan apresiasi khusus pada tentara atau profesi lainnya yang dapat membantu memberikan pendidikan pada anak-anak Papua.

Sementara itu, Nataniel Kobogau, mahasiswa Unika Soegijpranata, sependapat dengan Fitalia, tentang masih rendahnya pendidikan di daerah Ugimba. Sebelumnya proses pembelajaran ada di tahun 2007 sampai 5 tahun kemudian, program sekolah diberhentikan karena kekurangan tenaga pengajar dan guru. Jadi untuk pembelajaran belum maksimal di daerah tersebut. Fasilitas sekolah untuk siswa sangat minim, padahal semangat anak-anak untuk sekolah sangat tinggi. Namun dengan keterbatasan yang ada terkadang menjadi sebuah kegagalan.

Di Ugimba, menurut Nataniel, tantangan yang ada di antaranya tersedianya sarana dan prasarana sekolah untuk siswa ataupun guru, pengadaan guru yang mau bertugas di pedalaman, kemudahan akses sekolah, dan pemberian informasi terkait pentingnya pendidikan kepada orang tua agar anak-anak bisa sekolah. Dengan terpenuhinya program pendidikan, maka masa depan anak Papua akan terjaring. (suhe/ed: And)