Jakarta – Humas BRIN. Di Indonesia, istilah Green Financing didefinisikan sebagai dukungan menyeluruh dari industri jasa keuangan untuk pertumbuhan berkelanjutan yang dihasilkan dari keselarasan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Mendatang nanti, untuk mewujudkannya, pemerintah berupaya menerapkan kebijakan green financing sebagai salah satu alternatif pembiayaan usaha di Indonesia.
Pembahasan Green Financing di bidang perekonomian menjadi topik kegiatan Macroeconomics and Finance (MAFIN) TALKS, yang kali ini memasuki seri ke-8. Kegiatan yang dibesut Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan (PR EMK), Organisasi Riset Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat (OR TKPEKM) ini berkolaborasi dengan Direktorat Kebijakan Ekonomi, Ketenagakerjaan, dan Pengembangan Regional (Dir KEKPR), Deputi Kebijakan Pengembangan (DKP). Kegiatan berlangsung secara daring, Kamis (23/02).
Dari sisi pandangan seorang tokoh Hohne, Green Financing merujuk pada pemahaman investasi keuangan yang mengalir ke proyek-proyek pembangunan berkelanjutan. Istilah ini mulai mengemuka dalam satu dekade terakhir. Potensinya akan semakin dibutuhkan, seiring dengan tuntutan dalam hal keberlanjutan lingkungan di berbagai sektor, termasuk sektor keuangan.
Kepala PR EMK, Zamroni Salim, dalam sambutannya mengaitkan Green Financing atau disebut Pembiayaan Hijau dengan Kegagalan Ekonomi. Untuk itu, ia menekankan, untuk membangun Indonesia yang lebih baik dan sustainable dengan memperhatikan isu lingkungan. “Green Financing merupakan salah satu langkah mendukung pembangunan berkelanjutan di Indonesia serta membantu mengatasi kegagalan-kegagalan pasar,” ujarnya.
Dengan menerapkan Green Financing, Green Tax, dan lain sebagainya dengan baik maka akan mewujudkan harga-harga di pasaran yang juga mendukung aspek lingkungan. Contohnya, menerapkan biaya untuk kompensasi terhadap lingkungan seperti penghijauan. Sehingga, masalah kegagalan pasar dan pencemaran lingkungan dapat teratasi.
Zamroni berharap, hasil pembahasan kali ini dapat memberikan kontribusi berupa insights bagi para peneliti maupun pemangku kebijakan di Indonesia, terkait Green Financing.
Dalam paparan, Pembicara Edwin Basmar, Post-Doctoral di PR EMK ini menjelaskan mengenai pembiayaan hijau di sektor perbankan. Dipaparkannya klasifikasi indikator keuangan di Indonesia serta payung hukum penerapan Green Financing di industri perbankan Indonesia, yang salah satunya diatur dalam UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Ia juga menuturkan tujuan dari Green Financing itu sendiri yaitu, mendorong sektor publik menciptakan lingkungan yang memungkinkan, mempromosikan kemitraan publik-swasta pada mekanisme pembayaran, dan pengembangan kapasitas usaha masyarakat dalam kredit mikro.
Menurutnya, beberapa peranan utama dari Green Financing di sektor perbankan meliputi penghijauan sistem perbankan, penghijauan pasar obligasi, dan penghijauan investor institusi. Contohnya, data perbankan di Eropa, Amerika, hingga Asia Pasifik yang sudah menerapkan Green Financing termasuk Indonesia.
Ia mengimbuhkan, walau Indonesia sudah menerapkan namun memang dalam pelaksanaannya belum berjalan baik. “Penerapannya masih pada tahap awal tetapi perkembangannya menunjukkan potensi yang besar. Baik konsumen maupun perbankan memiliki komitmen untuk mendukung tujuan Green Finance,” tuturnya.
“Implikasi dari penerapan kebijakan Green Financing pada akhirnya akan menyentuh semua sektor yang ada seperti sektor fiskal, riil, dan keuangan untuk bekerja sama dalam mewujudkan Green Financing,” ungkap Edwin.
Sementara, Pembicara Abdul Rahman, yang juga Post-Doctoral di PR EMK membahas “Green Tax (Pajak Hijau): Peluang dan Tantangan di Indonesia”. Abdul mengatakan, Green Tax adalah salah satu solusi dari Pemerintah untuk mencapai Green Financing. Menurutnya, sumber perbaikan perusakan lingkungan bisa berasal dari APBN, APBD, dan sumber lainnya (CSR dll). “Jika yang disampaikan Pak Edwin membahas dari sisi sumber lainnya (perbankan) maka dari paparan saya akan dibahas dari sisi APBN dan APBD dalam bentuk pajak,” ujarnya.
“Lalu, apa sih yang akan dikenakan pajak? Yaitu semua kegiatan yang memberikan dampak kerusakan bagi lingkungan,” tambah Abdul. Menurutnya, Green Tax muncul karena eksternalitas, yaitu biaya/manfaat (efek yang dirasakan) dari kegiatan ekonomi yang dialami pihak ketiga yang tidak terkait dengan aktifitas tersebut. Eksternalitas dapat bersifat positif maupun negative. Solusi dari eksternalitas dapat berupa penegakan hak kepemilikan properti, pajak (Green tax), peraturan, dan subsidi.
Abdul mengungkap pemahaman Green Tax atau Pajak Lingkungan dari sumber terpercaya OEDC, yaitu pajak yang pemungutannya berbasis suatu unit fisik yang terbukti memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. Penerapannya untuk peningkatan perbaikan lingkungan yang pengenaannya bagi perusahaan yang berdampak pada kerusakan lingkungan. Ataupun pemberian intensif/kredit pajak bagi perusahaan yang menjaga kelestarian lingkungan dan orang-orang yang mengkonsumsi barang ramah lingkungan.
“Dalam penerapannya di Indonesia, Green Tax dalam bentuk pemberian intensif/kredit pajak memang belum berjalan baik karena masih berfokus pada fungsi pajak sebagai budgeter,” ungkapnya. Sedangkan penerapan dalam bentuk pengenaan pajak lingkungan sebenarnya sudah dilakukan untuk pajak karbon di sektor PLTU batubara sejak 1 April 2022 dan pajak kendaran bermotor (namun memang belum secara jelas dikategorikan sebagai pengenaan green tax).
“Pada akhirnya, Green Tax lahir dari eksternalitas dan keberadannya akan memunculkan eksternalitas ekonomi,” ujar Abdul. Hubungan eksternalitas ekonomi dan green tax dapat dilihat saat kondisi harga naik maka permintaan akan menurun dan mengakibatkan perusahaan menurunkan produksi. Hal ini akan membuat eksploitasi terhadap lingkungan akan berkurang dan lingkungan dapat dimanfaatkan masyarakat untuk peningkatan ekonomi. Di akhir paparan Abdul menyampaikan hasil rekomendasinya yaitu perlu melakukan penyuluhan terkait Green Tax ke setiap industri, serta merumuskan kebijakan yang melibatkan semua pihak. Kebijakan Green Tax harus jelas (tarif dan cara penarikannya) agar tidak overlapping dengan aturan sebelumnya. Perlu adanya daerah percontohan yang menerapkan Green Tax dengan pengawasan seksama dan berkala. Perlu juga insentif tambahan bagi perusahaan yang menjalankan UU Green Tax. (RPS/Ed: And)