Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra (PR PBS) – Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR ARbastra) bekerja sama dengan Suluh Indonesia dan SIL International menyelenggarakan Lokakarya Pendidikan Multilingual Berbasis Bahasa Ibu (Workshop on Mother Tongue-Based Multilingual Education). Kegiatan berlangsung secara hybrid pada 23-25 Februari 2023 dengan pusat pengendalian kegiatan di Kampus BRIN Gatot Subroto, Jakarta.

Kepala PR PBS, Katubi mengatakan ada perbedaan di antara kedua istilah “bahasa ibu” dan “bahasa daerah”. “Bahasa Ibu adalah bahasa uang yang diperoleh pertama kali oleh anak-anak tanpa melalui proses pembelajaran di sekolah,” ujarnya. Itu sama dengan pemerolehan bahasa pertama bagi anak-anak yang diperoleh di lingkungan keluarga untuk pertama kalinya. “Sementara itu, bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan atau dituturkan di suatu wilayah dalam sebuah negara,” lanjutnya. Konsep bahasa daerah ini lebih mengacu pada penggunaan bahasa dalam suatu kewilayahan.

Katubi berkata, dalam konteks keindonesiaan, pada umumnya bahasa ibu bagi anak-anak Indonesia adalah bahasa daerah. Meskipun demikian, bahasa ibu tidak sama dengan bahasa daerah. Bisa jadi bagi anak-anak di perkotaan, bahasa ibu mereka adalah bahasa Indonesia. Bahkan, ada juga anak-anak yang bahasa ibu mereka adalah bahasa Inggris. Pemerolehan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris anak-anak Indonesia sebagai bahasa ibu ini biasanya terkait dengan sikap bahasa para orang tua, yang disinyalir kemungkinan karena bersikap negatif terhadap bahasa daerah.

Sebenarnya, dalam politik bahasa nasional Indonesia, bahasa daerah sebagai bahasa ibu bagi sebagian besar anak-anak di Indonesia diperbolehkan untuk digunakan dalam pembelajaran di sekolah. Hal itu terutama untuk kelas 1 sampai dengan 3, yang dianggap sebagai masa peralihan. Namun, kenyataannya justru anak-anak sejak kelas 1 diajar dengan menggunakan bahasa Indonesia. Akibatnya, anak-anak merasa kesulitan untuk mengikuti pelajaran di sekolah. Penggunaan bahasa ibu bagi anak-anak di sekolah pada tingkat awal ini sekaligus berguna untuk memperkenalkan kebudayaan di lingkungan mereka sendiri.  Dalam hal ini berlaku prinsip bahasa adalah jendela dunia. ”Karena itu, biarkan anak-anak melihat dunia melalui bahasa ibu yang mereka peroleh sejak awal,” ucapnya.

Lebih jauh Katubi mengutarakan, bahwa adanya masa transisi penggunaan bahasa ibu ke bahasa Indonesia di sekolah pada masa kelas-kelas awal. Ini dianggap sangat efektif agar anak-anak tidak merasa frustrasi belajar di sekolah. Jika hal ini tidak dilakukan, anak-anak akan merasa asing dengan dunia sekolah ketika mereka masuk sekolah untuk pertama kalinya atau di kelas-kelas awal.

Perkembangan pendidikan multilingual berbasis bahasa ibu di Indonesia pada akhir-akhir ini semakin menurun. Banyak sekolah yang menghendaki anak-anak begitu masuk sekolah sudah langsung bisa membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia. Padahal, seharusnya tugas guru pada kelas-kelas awallah yang harus mengajarkan membaca dan menulis. ”Untuk pengembangan pendidikan multilingual berbasis bahasa ibu, yang sangat perlu mendapat perhatian adalah wilayah yang sangat heterogen bahasanya, terutama di wilayah Indonesia Timur, yaitu Maluku dan Papua,” tegasnya.

Dalam workshop ini, Katubi menyampaikan, tujuan diselenggarakannya workshop ini adalah untuk: 1) menyadarkan para akademisi di Indonesia betapa pentingnya pendidikan multilingual berbasis bahasa ibu yang selama ini mulai ditinggalkan; 2) meningkatkan pemahaman tentang konsep pendidikan multilingual berbasis bahasa ibu; dan 3) mengembangkan materi pendidikan multilingual berbasis bahasa ibu.

Hal ini penting dilakukan karena bahasa ibu menjadi dasar pembentukan karakter anak-anak sekaligus sebagai dasar proses belajar berikutnya bagi anak-anak. Selain itu,  ratusan bahasa daerah yang pada umumnya menjadi bahasa ibu bagi anak-anak Indonesia dapat dijadikan dasar pengembangan materi Pendidikan multilingual.

Ditargetkan, dengan workshop ini, peserta menyadari dan memahmi betapa pentingnya bahasa ibu bagi anak-anak. Selain itu, peserta workshop diharapkan mampu mengembangkan materi pendidikan multilingual berbasis bahasa ibu berdasarkan bahasa ibu dari masing-masing peserta. Ini akan menghasilkan luaran (output) yang sangat banyak karena latar belakang peserta yang beragam bahasa ibunya. Workshop diikuti sebanyak 40 peserta, baik dari lingkungan peneliti PR PBS maupun para akademisi dari berbagai kampus, seperti Universitas Pattimura Ambon, Universitas PGRI Bali, Universitas Timor NTT, Universitas PGRI Madiun, Badan Bahasa, Universitas Teknokrat Lampung, FIB Universitas Indonesia, dan sebagainya. (suhe/Ed:And)