Jakarta-Humas BRIN. Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PMB) mengadakan webinar dengan tema “Voice of Kula: Pemutaran dan Diskusi Film Dokumenter Ekspedisi Kula di teluk Milne, Papua New Guinea”, Senin (13/03). Kegiatan ini menghadirkan dua pembicara, yaitu Susanne Kuehling selaku Koordinator Projek dan Penelitian dari Kepala Departemen dan Asosisasi Profesor PhD di Australian National University dan Isabelle Antunes, seorang pembuat film kebudayaan.

Pembahasan film Kula dalam sebuah webinar ini bermula dari kegiatan riset seorang antropolog. Dinarasikan, pada tahun 2016 – 2018, sekelompok penduduk Pulau Dobu, Milne Bay, Papua New Guinea, kedatangan dua antropolog dari Jerman untuk melakukan ekspedisi penelitian, dengan tujuan adalah untuk melestarikan budaya Kula. Kula adalah sistem pertukaran yang kompleks berdasarkan kepercayaan magis, tradisi, tugas, dan kewajiban yang dilakukan oleh orang Trobriand di Papua Nugini melalui etnografi klasik.

Dalam sambutannya, Kepala PMB, Lilis Mulyani berharap agar para peserta telah menonton film tersebut terlebih dahulu agar bisa lebih memaknai secara mendalam di dalam membahas isi filmnya.

Film ini dikisahkan melalui visualisasi sebuah tradisi pertukaran hadiah, di mana orang bertukar dua jenis barang berharga dengan simbol cangkang. Kula memiliki dua objek cangkang yang berbeda. Benda-benda tersebut bergerak dari tangan satu ke yang lainnya, di dalam wilayah pulau yang dikenal sebagai cincin kula.

Susanne menjelaskan, kisah Voice of Kula merevitalisasi sistem pertukaran maritim. Diceritakan, bahwa pulau dan seisinya yang digambarkan dengan cakram cangkang merah sebagai simbol budaya masa lalu dalam berbagai bentuk, seperti kalung dan artefak. Pola kehidupan yang disiratkan yaitu pemanfaatan sumber daya yang lebih baik, seperti hidup lebih sehat. Mayoritas mata pencahariannya yaitu pembuatan kano nelayan, bidang pelayaran, pembangunan rumah, katering tikar, dan keranjang. Dalam hal menerapkan nilai – nilai sosial kehidupan, masyarakat desa rata – rata mempunyai sikap baik yang positif.

Kula, menjadi kunci kelangsungan tradisi budaya yang tumbuh selama ratusan tahun. Kula adalah jaringan yang kuat dan memiliki nilai sosial yang kuat. Seluruh penduduknya sangat menghormati orang yang lebih tua, punya solidaritas yang kuat, dan berstrategi untuk bekerja keras.

Dalam diskusinya, Isabelle menilai film Voice of Kula membuat kita dapat memahami bagaimana mempelajari karakter seseorang. Ia memprediksi, film tersebut bakalan masuk dalam The Festival International du Film Documentaire Océanien (FIFO).

Dalam menyimpulkan acara, Koordinator Kelompok Riset Warisan dan Budaya, Dedi S Adhuri selaku pemandu kegiatan mengatakan, di Indonesia ada sebuah tradisi budaya maluku yang digambarkan dalam suatu bentuk perjanjian antar satu negeri atau lainnya, untuk mengikat suatu peristiwa yang terjadi dan dialami secara bersama-sama. Contoh tersebut menjadi salah satu bukti warisan tradisi budaya nenek moyang. Kekayaan tradisi semacam ini menjadi bukti sejarah suatu proses peradaban masyarakat yang lambat lain semakin berubah. (ANS/ed: And)