Jakarta – Humas BRIN. BRIN melalui Pusat Riset Politik (PRP) bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM) – Kementerian Hukum dan HAM, United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), International Organization for Migration (IOM), Jesuit Refugee Services (JRS), dan Resilience Development Initiative Urban Refugee Research Group (RDI-UREF) menyelenggarakan Rangkaian Lokakarya.
Selasa (21/03), pada sesi ke-3 ini topik yang dibahas yaitu “Strategi Pemberdayaan Pengungsi di Indonesia sebagai Solusi Peningkatan Penerimaan Negara Ketiga”. Tema khusus yang dibahas yaitu praktik baik dan pembelajaran penghidupan pengungsi yang sudah dilakukan di negara Asia Pasifik, seperti Turki, Pakistan, dan Malaysia.
Para pembicara yang terlibat kali ini Senior Regional Livelihoods and Economic Inclusion Officer for Asia Pasific – UNHCR, Damla Buyuktaskin, Associate Livelihood and Economic Inclusion Officer – UNHCR Pakistan, Muhammad Riaz, CEO and Co-Founder of Picha Eats Malaysia, Kim Lim, Asia Partnerships Manager Talent Beyond Boundaries (TBB) Australia, Patrick Keerthisinghe, dan Project Officer Catholic Relief Servises (CRS), Bella Suci Rafika.
Pada pembahasan ini, kegiatan dibuka oleh Tri Nuke Pudjiastuti, selaku Peneliti PRP BRIN dengan menyampaikan rangkuman dari workshop sebelumnya. Lalu rangkaian paparan dan diskusi dipandu Moderator, Dwita Aryani, selaku Assistant Protection Officer, UNHCR Indonesia. Rangkaian ditutup oleh Dea J. Ismail selaku National Programmer Officer IOM Indonesia.
Secara global, lebih dari 100 juta orang harus mengungsi secara paksa (keluar dari negaranya) dan kondisi ini terus mengalami peningkatan. Jika para pengungsi tersebut dibiarkan saja berada di negara tuan rumah (negara yang menerima pengungsi) tanpa adanya pendampingan, maka mereka akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun sebaliknya, jika para pengungsi mendapatkan peluang untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang sesuai, maka mereka pun dapat memberikan sumbangsih bagi negara tuan rumah.
Tidak ada yang ingin menjadi pengungsi selamanya. Oleh karena itu, kita perlu mencari solusi permanen untuk membantu para pengungsi agar mampu berdikari. Komitmen mengenai penanganan pengungsi ini harus dilakukan secara bersama-sama terutama mengenai mata pencaharian dan inklusi ekonomi sehingga kita dapat memperbaiki dunia secara bersama-sama.
Pengungsi tidak dapat ditangani sendiri dari sisi ekonomi negara tuan rumah sehingga perlu kolaborasi dengan aktor-aktor pembangunan (sektor swasta dll) untuk pembangunan sosial ekonomi di negara tuan rumah. Keterlibatan pihak swasta menjadi perlu, karena selain ikut bertanggung jawab tetapi juga sebagai pencipta lapangan pekerjaan di negara tuan rumah.
Sebagai contoh praktik baik, regulasi izin kerja di Turki memungkinkan pengungsi dapat bekerja dan mendirikan badan usaha dengan syarat harus mendaftarkan/registrasi izin kerja terlebih dahulu. Jadi, ada semacam kartu perlindungan sementara untuk melamar pekerjaan.
Sebaliknya, Pakistan tidak mengizinkan pengungsi bekerja di sektor formal, tidak boleh memiliki properti, tidak boleh mendaftarkan bisnis termasuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM). Selain itu, Pakistan juga tidak menandatangani konvensi untuk pengungsi. Namun pada praktiknya berbeda, para pengungsi yang telah tinggal di Pakistan sudah bisa mendapatkan penghasilan tetapi dari pekerjaan informal. Contohnya, dengan berjualan, bekerja di UMKM kecil, dll. Mereka juga dapat berpergian bahkan mungkin sudah mendaftarkan usaha mereka tetapi bukan menggunakan nama mereka (menggunakan nama orang Pakistan yang dekat dengan mereka).
Praktik baik dari aspek program mata pencaharian di Pakistan yang telah berjalan ialah pengungsi mendapatkan akses pendidikan dan layanan kesehatan di sektor swasta maupun publik. Data pengungsi di Pakistan tercatat secara resmi di sistem basis data nasional Pakistan, sehingga mereka mendapatkan KTP khusus pengungsi bahkan dokumen terkait pernikahan dan kelahiran.
Selain itu, para pengungsi Afghanistan mendapatkan alokasi 2% kursi pada program vokasi yang didanai Pemerintah namun harus memiliki kartu POR terlebih dahulu. Para pemuda pengungsi dan masyarakat lokal juga mendapatkan kesempatan yang sama dalam program pengembangan pemuda melalui pelatihan vokasi. Hal lainnya, melalui pengembangan program inkubasi di Pakistan memungkinkan seluruh anak muda di Pakistan mendapatkan pelatihan kewirausahaan.
Sebuah organisasi sosial di bidang makanan di Malaysia juga berhasil memberikan praktik baik penghidupan/mata pencaharian bagi para pengungsi di sana. Mereka mendapat kesempatan bekerja sebagai chef namun mereka tidak diperlakukan sebagai karyawan (karena regulasi di Malaysia tidak mengizinkannya). Jadi, mereka dibayar sejumlah output makanan yang mereka buat. Walaupun tidak ada pendapatan pasti, namun melalui organisasi ini mereka mampu menyekolahkan anak-anaknya dan memiliki penghasilan untuk memenuhi kehidupan mereka.
Ada pula platform yang membantu menghubungkan para pencari kerja (pengungsi) dan pemberi kerja (perusahaan). Melalui platform ini dapat mempermudah keduanya memenuhi kebutuhan satu sama lain. Perusahaan dapat lebih mudah mendapatkan pekerja sesuai spesifikasi. Pekerja pun dapat menjangkau kesempatan mendapatkan pekerjaan yang lebih luas (hingga ke luar negeri).
Praktik-praktik baik yang sudah dilakukan di berbagai negara mungkin belum tentu sepenuhnya dapat diterapkan di negara lain. Namun, dapat menjadi contoh untuk menemukan solusi terbaik dan berkelanjutan yang efektif serta signifikan bagi banyak pihak khususnya terkait pengungsi. Karena, para pengungsi ini perlu diberikan kesempatan. Kita semua pun dapat terlibat (berperan) untuk membantu meningkatkan taraf hidup para pengungsi. (RPS/ed: And)