Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset (PR) Hukum, Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan, Sosial, Humaniora (OR IPSH), BRIN kembali menggelar kegiatan Legal Research Discussion (LRD) secara daring, Jumat (24/3). Pada seri yang ke-11 ini, topik diskusi yang diangkat adalah Kewenangan Pengawasan Balai Harta Peninggalan (BHP) terhadap Harta Kekayaan Anak di Bawah Perwalian dan Gagasan Pembentukan Sistem Hukum Perwalian Nasional.

Dalam sambutan pembukannya, Kepala PR Hukum BRIN yang diwakilkan oleh Sri Gilang mengatakan bahwa kegiatan ini adalah bagian dari riset doktoral yang sudah dikaji cukup dalam dan dapat memberikan kontribusi pada sistem hukum nasional. Sebagai salah satu Peneliti di PR Hukum BRIN, ia juga mengatakan bahwa telah menjadi tugas kita sebagai periset hukum dalam menyampaikan pembaruan-pembaruan baru dari dimensi praktik dan teoritis. “Semoga dengan diskusi dan berdialektika bersama, kajian tersebut dapat dikembangkan lebih jauh lagi dan bermanfaat dalam kemajuan sistem hukum nasional,” katanya.

Memasuki sesi pemaparan materi, Peneliti PR Hukum BRIN, Taufik H. Simatupang menjelaskan mengenai awal mula sejarah pembentukan lembaga BHP. BHP awalnya merupakan lembaga warisan peninggalan Belanda yang berfungsi melayani kebutuhan bagi para anggota VOC khusus dalam mengurus harta kekayaan yang ditinggalkan oleh mereka bagi kepentingan para ahli waris yang berada di Belanda.

Lebih lanjut ia mengatakan, kini BHP merupakan entitas di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang bertanggung jawab dalam keperdataan yang cukup luas kewenangannya, namun banyak tidak diketahui oleh orang bahkan praktisi hukum sekalipun. Salah satu kewenangan utamanya adalah fungsi perwalian anak.

Ia membeberkan berbagai permasalahan faktual mengenai BHP, di antaranya Negara melalui BHP belum dapat hadir dalam pengawasan perwalian anak, karena ada anggapan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama tidak menyampaikan Salinan Penetapan Perwalian yang dibutuhkan BHP dalam menjalankan fungsinya sebagai perwalian. “Selain itu juga adanya anggapan bahwa persoalan perwalian anak telah selesai pada saat penetapan pengadilan,” bebernya.

Berdasarkan hasil penelitiannya, dalam 10 tahun terakhir terdapat jumlah penetapan perwalian sebanyak 5104 penetapan, namun yang disampaikan ke BHP hanya 423 penetapan (8.29%). Kemudian berdasarkan fakta hukum hasil wawancara dengan responden BHP di berbagai daerah, banyak peristiwa hukum perwalian keperdataan yang tidak dapat disentuh secara optimal oleh BHP.

Ia menyampaikan Pasal 366 dan Pasal 369 KUH Perdata sebagai salah satu syarat landasan hukum bagi BHP untuk dapat melaksanakan fungsinya. Namun dalam pelaksanaannya, berdasarkan data responden yang diambil olehnya, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama masih terdeteksi belum melaksanakan seluruhnya. Bahkan masyarakat masih belum mengetahui keberadaan BHP.

Ia memerinci bahwa konsep pengawasan BHP terhadap harta kekayaan anak di bawah perwalian pada tempatnya wajib mempertimbangkan pluralisme sistem hukum yang hidup di Indonesia. Pembentukan sistem hukum perwalian sebagai sub sistem hukum nasional, dapat digagas dalam bentuk unifikasi dan koodifikasi secara terbatas. “Unifikasi dan koodifikasi dapat dilakukan pada elemen-elemen asas, norma, kaidah hukum dan elemen kelembagaan. Sedangkan proses permohonan penetapan perwalian anak tetap dibiarkan plural sesuai agama dan kepercayaan setiap warga negara,” rincinya.

Pada paparan penutupnya, ia memberikan saran mengenai pembaruan sistem hukum ke depannya. Menurutnya, negara dalam jangka panjang perlu merencanakan RUU Perwalian Anak sebagai gagasan pembentukan sistem hukum perwalian nasiona. Di dalamnya akan mengatur lembaga seperti BHP untuk dapat berdiri sendiri bukan di bawah kementerian apapun.

Di samping hal tersebut, baginya, Lembaga seperti BHP juga perlu melakukan sosialisasi lebih intensif dan masif ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, terkait tugas dan fungsi dan kewenangannya di bidang pengawasan perwalian anak. Selain itu juga, melakukan evaluasi dan monitoring untuk melihat tingkat keberhasilan sosialisasi dimaksud. (RBA/ed:And)