Jakarta – Humas BRIN. BRIN dalam hal ini Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PMB), Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) kembali mengadakan kegiatan Forum Diskusi Budaya (FDB) yang kali ini memasuki seri ke-55, Senin (03/04). Topik yang diangkat “Sumub Bustaman: Pikat Kampung Leluhur Raden Saleh”. Tema tersebut sekaligus sudut pembahasan karya buku milik A. Khairudin. Maka dalam diskusi ini dihadirkan juga Penulis sekaligus Direktur Hysteria tersebut. Hadir juga pembahas buku, yaitu Vita Agustina selaku Dosen dan Pegiat Literasi.
Saat memberi sambutan, Kepala PMB, Lilis Mulyani menyampaikan komitmen pusat riset yang dipimpinnya yaitu membangun komunitas ilmiah sekaligus menyosialisasikan kegiatan, gagasan atau hasil riset, dan hasil pemikiran ilmiah baik dari para peneliti maupun dari mitra-mitra di lingkungan kerisetannya. Untuk itu, diharapkannya, forum tersebut menjadi salah satu platform yang menghubungkan PMB dengan berbagai kalangan.
”Penting bagi kita untuk mengetahui, memahami, dan merayakan pengetahuan lokal dan sejarah dari orang-orang Indonesia,” urainya. Seperti halnya, Indonesia mempunyai pelukis ataupun seniman yang secara internasional dikenal dengan karya-karyanya, seperti yang dibahas kali ini yaitu Raden Saleh. Dalam diskusi ini, yang menjadi sorotan yaitu kampung utama yang menjadi salah satu pemukiman dengan menisbatkan keberadaan Raden Saleh sebagai leluhurnya para pelukis.
Alasan penting dari diskusi ilmiah ini, menurut Lilis, lantaran pengetahuan – pengetahuan yang ada menjadi harta karun yang sangat berharga bagi kita, masyarakat Indonesia. Sebagai generasi penerus, bangsa ini layak mendapatkan informasi tentang sejarah Indonesia baik dari sisi lokal maupun internasional. Maka, lewat ketekunan dan ketelitian para penulis sejarah, sebagaimana ia kenalkan dalam diskusi di seri ini, sejarah Indonesia tersibak.
”Kita bangga memiliki tokoh – tokoh yang kompeten di bidangnya sebagai ilmuwan, seniman, budayawan, dan sebagainya. Untuk itu, bagi Lilis, kita merayakan identitas bangsa ini salah satunya melalui kegiatan ini. Dengan kegiatan – kegiatan semacam ini, berbagai gagasan muncul, bahkan isu – isu baru lainnya yang terkait dengan tema.
Dalam diskusinya, Khairudin menjelaskan, Kampung Bustaman adalah salah satu kampung lama di Kota Semarang. Ia menguraikan isi buku karyanya yang diceritakan sejak tahun 2012 hingga sekarang. Buku ini tidak hanya mengupas kampung leluhur namun juga penelitian antropologis menelusuri berbagai tautan, mulai dari kekerabatan, relasi, ekonomi hingga modal, sosial, dan kultural.
Khairudin menerangkan, Bustaman tidak hanya bernilai sejarah namun juga menyimpan potensi budaya.
”Pragmatisme lebih mendominasi kampung ini! Proyek – proyek kesenian ditawarkan dan responsnya sangat cepat,” ungkapnya. Bustaman merupakan kampung yang mempunyai ciri khas tertentu dibanding kampung lainnya. Kampung dengan rumah petak sempit yang dihuni banyak KK. Meski penuh sesak dengan jalan lorong sempit, Bustaman tetap memikat pendatang, dalam hal ini orang – orang Boro, hadir untuk mencari nafkah di sana.
Bustaman, dikatakan, juga punya tautan menarik dengan keberadaan Kota Semarang. Berdasarkan pengalaman risetnya, Khairudin mengisahkan, Bustaman dulu hanya dikenal sebagai kampung bule. Keberadaan cerita Raden Saleh atau leluhurnya tidak banyak diungkap. Bahkan orang tidak banyak tahu adanya kerabat keturunan kraton Raden Saleh yang tinggal di situ.
Khairudin kemudian membeberkan ciri khas dari kampung tersebut sebagai kampung yang padat namun justru menjadi daya pikat orang untuk memasuki kampung menimba berbagai pengalaman. Dari sisi filosofinya, Khairudin menggunakan istilah sumub yang artinya uap yang dihasilkan ketika merebus air. Ia mengibaratkan, sebagaimana diceritakan penduduk setempat, ketika orang sudah terkena ‘sumub’ sudah pasti akan kembali lagi. Artinya, pengalaman di kampung tersebut yang akan membawa orang tersebut kembali lagi mengunjunginya.
Menanggapi paparan Khairudin, Vita Agustina berkisah keterikatannya dengan Bustaman, pada awalnya, hanya sebatas kulinernya. Lantas ia lebih banyak mengulas pendapat dari isi buku tersebut tentang Bustaman sebagai tempat permukiman tradisional. Ia mengawali ulasan dengan menjelaskan identitas kampung yang merupakan embrio terbentuknya sebuah kota.
”Kampung inilah yang menjadi akar tatanan kehidupan yang ada di kota saat ini. Akan tetapi sayangnya, ada permasalahan – permasalahan yang dihadapi perkotaan. Sementara, pertumbuhan sejalan dengan perubahan, baik itu fisik maupun non fisik. Sehingga hal itu mempengaruhi berbagai sektor baik itu ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya, sejalan dengan bertambahnya populasi,” ucapnya.
Sehubungan dengan itu, lantas Vita menerangkan tentang tipe – tipe pemukiman. Pertama, pemukiman terencana yang mempunyai infrastruktur yang baik, fasilitas yang lengkap, serta sarana dan prasarana yang memadai. Sedangkan pemukiman kampung merupakan wujud dari rumah-rumah di lorong yang sulit dijangkau oleh kendaraan roda empat maupun dua. ”Rumahnya berhimpitan dan beberapa juga masih dengan fasilitas seadanya, yang memang sudah terbangun sejak awal,” jelasnya. Lalu ada juga tipe pemukiman kumuh, yang dimaksud yaitu rumah – rumah di pinggir sungai, seperti di kolong jembatan, yang menempati fasilitas publik lain tanpa kepemilikan lahan yang jelas.
Dengan semakin padatnya populasi terutama di pemukiman kota, Vita menanggapi, hal itu harus dibarengi dengan upaya-upaya untuk membentuk sebuah masyarakat yang baik. Sehingga lahirlah yang namanya new urbanisme kampung perkotaan. Lalu apakah Bustaman sebagai komunitas kampung kota sudah mencapai titik tersebut untuk pemanfaatan sumber daya?
Lalu Vita menjelaskan, Bustaman pada awalnya sebagai kampung hadiah dari Belanda. Kemudian kampung ini berkembang menjadi besar dan padat. Sebagai kampung di tengah kota, Bustaman sangat nyaman, bahkan dikenal sebagai tempat kembalinya anak – anak muda. ”bahkan kampung ini menjadi kampung yang layak disorot kegiatan kreativitasnya belakangan ini,” terang Vita.
Menurut Vita, Bustaman sebagai kampung yang mempunyai ruang yang sempit dengan populasi padat, justru memberi ruang kreativitas yang lebih baik dan melampaui zamannya. Bustaman sendiri sudah menjadi perhatian pemerintah daerah setempat yang juga berkolaborasi dengan kolektif hysteria. Di mana, kegiatannya beberapa tahun ini membentuk sebuah masyarakat yang lebih baik sebagai kampung tematik. (ANS/And)