Jakarta – Humas BRIN. BRIN, dalam hal ini Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB), Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) menggelar International Public Lecture dengan tema “Challenges and Opportunities to Nurtured Research Culture”, Kamis (14/06). Acara ini berlangsung secara hybrid di Ruang Seminar BRIN Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo Gatot Subroto. Peter Carey, Emeritus Professor Oxford University hadir sebagai narasumber dalam acara ini dengan dipandu moderator Irawan Santoso Suryo Basuki, peneliti PRMB.

Lilis Mulyani, Kepala PRMB dalam sambutannya di awal acara menyampaikan bahwa BRIN sebagai lembaga riset pemerintah yang terintegrasi memiliki berbagai macam tantangan. Dengan sumber daya manusia periset yang berasal dari berbagai kementerian dan Lembaga yang berbeda, pastinya muncul berbagai tantangan dari perbedaan latar belakang, kepakaran, dan bahkan budaya riset dari para perisetnya.

“Setiap peneliti akan memiliki perbedaan karakteristik, etika, dan budaya,” ujarnya. Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa beberapa peneliti kemungkinan merasakan perbedaan budaya kerja dan budaya akademik.

Lilis menjelaskan bahwa sebagai peneliti, kita harus membangun komunitas ilmu pengetahuan yang memiliki budaya saling membina (a nurtured community of science). Ia menekankan, setiap peneliti adalah bagian dari komunitas ilmiah terbesar. “Kita harus bisa berkontribusi dengan lebih baik untuk sains, masyarakat lokal, dan negara,” ucapnya.

Peter Carey, dalam paparannya membahas topik besar peraihan Penghargaan Nobel. Di sini ia bertutur mengapa Indonesia justru satu-satunya di antara sepuluh negara dengan populasi terbesar di dunia, namun menjadi satu-satunya negara yang belum memenangkan Nobel dalam kategori apa pun sejak. Padahal, negara tetangga seperti Myanmar, Vietnam, Filipina, bahkan Timor Leste, sudah memiliki sosok peraih Penghargaan Nobel. Alasannya bahwa negara – negara ini memiliki soft power dalam hubungan internasional yang tidak dimiliki oleh Indonesia.

Dalam menjelaskan itu, Peter menyinggung tokoh Indonesia seperti Jusuf Kalla dan Pramoedya Ananta Toer yang seharusnya berpotensi meraih Nobel. Di sini Peter menganggap ada kesenjangan yang menempatkan posisi Indonesia berbahaya sebagai salah satu negara besar di dunia. Ini sinyalir, Indonesia tidak dapat menjelaskan dirinya sendiri kepada dunia luar. Hal itulah yang membatasi kemampuan Indonesia terlibat secara global.

Menurut Peter, beberapa faktor yang menjadi tantangan salah satunya adalah penghasilan yang rendah tidak hanya pada bidang akademik tapi hampir di seluruh bidang. Lebih lanjut Peter juga memberikan pendapat, jika perguruan tinggi negeri di Indonesia ingin direformasi maka praktik yang mengharuskan seluruh tenaga akademik menjadi PNS harus dihentikan. Terdapat hambatan pula pada pengembangan komunitas ilmiah dan tradisi ilmiah Indonesia yang akan terus melemahkan daya saing regional universitas negeri di Indonesia di tingkat pendidikan tinggi.

Untuk itu, Peter menyarankan, agar Indonesia banyak melibatkan komunitas ilmiah internasional dengan lebih luas lagi. Sehingga, Indonesia bisa tampil selevel dengan negara – negara yang memiliki soft power dalam hubungan internasional tadi. (RPS/ ed:And)