Jakarta – Humas  BRIN. Senin (19/06), Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB), Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) mengadakan Forum Diskusi Budaya (FDB) seri 60, dengan membahas buku “Keep Original Translanguaging and Identity Construction Among East Javanese Football Supporters”. Buku ini merupakan bagian dari buku terbitan Routledge tahun 2022. Pembahas buku ini yaitu Nurenzia Yannuar selaku Dosen Universitas Negeri Malang, Kristian Adi Putra sebagai Asisten Profesor Prince Sattam bin Abdulaziz, serta Imelda selaku Peneliti PRMB BRIN.

Dalam sambutannya, Kepala PRMB, Lilis Mulyani menyatakan keanekaragaman bahasa tidak hanya ada di Indonesia timur saja. Menurutnya, Jawa juga menjadi fokus yang menarik untuk diteliti, salah satu contohnya suporter sepak bola di Indonesia yaitu Arema Malang terkait dengan bahasa di ranah publik yang digunakan oleh mereka. “Semoga diskusi ini membuka wawasan dan memberikan pencerahan tentang metode-metode yang baru, khususnya dalam riset-riset tentang bahasa dengan berbagai manfaatnya,” ungkapnya.

Nurenzia Yannuar, melalui paparannya, ia menjelaskan konsep yang dipakai untuk membahas makna bahasa dibalik poster yang dibuat oleh suporter Arema. Dalam poster tersebut satu dari ratusan poster ada yang bertuliskan original. Lantas ia mencerna tulisan Arema FC atau AFC saat sedang merayakan hari jadi mereka bulan Agustus dengan tulisan ”tamales ngalu hati”, yang berarti kode bahasa anak muda Malang yang dibolak-balik.

Dalam penggolongannya pada studi linguistic landscape, poster dan banner yang ada di ruang publik tersebut tergolong area linguistik. Nurenzia mengatakan, pembaca tentunya adalah orang yang akrab dengan situasi linguistik di Indonesia, yang menurutnya di Indonesia situasinya adalah multilingual. ”Kemudian bahasa Indonesia itu adalah satu varian dari bahasa melayu dan bahasa tersebut adalah suatu bahasa yang disebut sebagai bahasa persatuan,” jelasnya.

Nurenzia kemudian memberikan penjelasan tentang suatu dasar hukum dari Undang – Undang nomor 24 tahun 2009 yang membahas tentang penggunaan bahasa indonesia sebagai bahasa ranah akademik di ranah publikasi. Lantas ia mengungkapkan status bahasa inggris yang di Indonesia juga menjadi bahasa resmi. Di tingkat ASEAN, bahasa inggris merupakan bahasa yang dianggap penting. Dianggap penting di Indonesia untuk memberikan akses terhadap ilmu pengetahuan internasional.

Jika menelusuri sejarah, sebelumnya, bahasa yang dianggap lebih penting adalah bahasa belanda. Akan tetapi setelah muncul banyaknya gerakan anti kolonialisme, bahasa belanda dianggap sebagai pasar yang dekat dengan kolonialisme dan orang – orang beralih menggunakan bahasa inggris.

Sementara, bahasa jawa adalah bahasa yang penuturnya sekitar 69 juta. Hal itu menurut Nurenzia, dari sisi etnologi dan penggolongannya dalam bahasa lokal karena manajemen, sebagaimana berdasarkan Bubu-buku yang mengacu pada bahasa jawa. Sementara di Jawa Timur misalnya di Malang, orang – orang tidak terlalu akrab dengan kata-kata yang dipakai di Jawa Tengah. Tapi di sisi lain, sebagai pemerhati bahasa jawa, Nurenzia mengkhawatirkan soal keberlangsungan bahasa jawa di rumahnya sendiri.

Ia mengungkapkan, bahasa lokal di Malang pembentukannya berdasarkan pembalikan kata dan kata-kata itu bisa berasal dari bahasa jawa, bahasa Indonesia, bahasa arab, dan juga bahasa Inggris. Dalam bahasa inggris seperti guys atau anak yang dalam bahasa jawa dikenal dengan sebutan arek. Kemudian sebutan itu dibalik menjadi kera. Ada lagi istilah dalam bahasa inggris disebut slow yang disebut dengan kata selow, kemudian diganti menjadi woles.

Pembuatan poster dan banner demikian ternyata dilakukan oleh pemudik, yang dilansir telah mengenal berbagai pengistilahan bahasa. Di dalam membuat istilah tersebut, mereka menggunakan cara yang dikenal dengan istilah trans language pack. ”Dalam studi tentang linguistic landscape, ternyata ditemukan ada penggunaan bahasa inggris di sejumlah 50% poster, bahasa lain yang hanya 2%, bahasa Indonesia 21%, bahasa jawa 7%, dan bahasa walikan 19%,” urainya.

Sementara, Kristian Adi Putra menganalisis dengan fokus pada beberapa poin yaitu latar belakang, pengaturan, metode, percarian dan diskusi, serta rekomendasi untuk pembelajaran. Menurutnya, tujuan dibuatnya poster – poster tersebut untuk dibaca dan menarik perhatian. Ia mengistilahkan dengan kiblat sepak bola yang bersumber dari Italia dan Inggris. ”Jadi memang betul karena banyak poster-poster tema sepak bola di Indonesia mengunakan bahasa inggris dan bahasa italia, bahkan menggunakan bahasa spanyol karena suporter di Indonesia juga ingin dianggap global,” ungkapnya.

Menurut Kristian, bahasa indonesia adalah simbol nasionalisme, bahasa Inggris sebagai simbol modern, sedangkan modernitas bahasa jawa dan bahasa walikan adalah simbol dari teknik vokal. Kristian menganggap hal itu diterapkan konsisten. Bahkan menurut pengamatannya, tidak banyak bahasa Indonesia dan bahasa jawa yang muncul di publik.

Selanjutnya, Imelda menambahkan dari fenomena kebahasaan, terutama yang dipakai dengan arema sebagai bahasa walikan, atau bahasa jawa sore walikan. Menurutnya, jika dilihat dari pola asalnya yang  cara membacanya dengan membalik atau terbalik, hal ini menjadi pertanyaan yang penting. Hal itu diartikannya pada konteks makna sepak bola sebenarnya bagi mereka, yang menjelaskan bahwa Arema itu berada pada posisi Bottom up ya dari masyarakat. ”Narasi tentang eksistensi pecinta sepak bola menjadi penting, sebab adanya perubahan-perubahan konseptualisasi dari bangsa menjadi narasi, juga tentang sejarah munculnya bahasa,” imbuhnya. Lalu siapakah masyarakat yang disebut Arema? Hal tersebut menjadi penting dalam konteks global. Muncul pertanyaan lagi, mengapa Arema masih membutuhkan bahasa lain selain bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan bahasa lainnya? Apa relasinya dan sejauh mana keterkaitan Arema dengan bahasa walikan dan sepak bola? Mengapa bahasa ini cukup signifikan untuk digunakan? Imelda lantas menyinggung tentang culture and entity untuk melihat bagaimana identitas dan sepak bola. Ia memandang identitas itu secara umum di dalam konteks negara-negara yang berbeda dan salah satu isinya tentang Indonesia. Yang menarik di sini yaitu bagaimana klub sepak bola dibentuk di masa kolonial. ”Jadi ada seperti narasi-narasi di masa lampau yang membentuk klub sepak bola yang sekarang, termasuk juga masyarakat,” ungkapnya menutup pembicaraan. (ANS/ed:And)