Jakarta – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Politik (PR Politik) Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) kembali menyelenggarakan Workshop. Kegiatan kali ini bertemakan Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Politik: Apa dan Bagaimana Menghadapinya?. Kegiatan berlangsung daring pada Selasa (20/06).

Kepala PR Politik, Athiqah Nur Alami, dalam sambutannya mengatakan, terkait dengan kekerasan terhadap perempuan dalam konteks politik menjadi tema yang menarik, aktual, dan penting untuk didiskusikan bersama. Hal ini termasuk di kalangan pegiat Ornom perempuan. Karena, di berbagai negara tidak bisa dielakkan peran perempuan. ”Perlu kita lihat, perempuan semakin aktif dalam sosial politik dan konteks politik. Populasi perempuan yang menjadi penting dan berpengaruh dalam pemilu mendatang,” ucapnya.

Athiqah mengatakan, kehadiran perempuan dalam politik dapat mewakili dan itu sesuatu yang baik. Dan hal ini, menjadikan keterwakilan bagi perempuan yang dapat membawa aspirasi kaum perempuan. Di satu sisi, banyak sekali aktivis perempuan, akan tetapi berdasarkan data, semakin banyak pelecehan pada perempuan seperti kandidat perempuan yang akan masuk dalam politik. Kekerasan pada perempuan disinyalir dengan alasan agar perempuan keluar dari politik atau sebagai kandidat yang akan maju di politik. Terlebih dengan adanya media sosial, maka semakin memungkinkan terjadinya kekerasan pada perempuan itu sendiri.

Lebih lanjut, Athiqah mengatakan di tataran global dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sudah ada perhatian terkait isu kekerasan perempuan. Ketika sudah ada konsensus global khususnya, maka menjadi ancaman yang serius dari sisi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). “Isu kekerasan perempuan menjadi relevan, di mana pada tahun depan kita menghadapi pemilu sebagai pesta demokrasi yang kompleks. Kita harapkan dalam pemilu nanti banyak perempuan terlibat,” harap Athiqah.

Untuk itu, akademisi dan Ornom perlu mengawal partisipasi perempuan agar dapat berjalan dengan baik dan sukses, sehingga kekerasan pada perempuan di pemilu nanti tidak terjadi.

Kegiatan ini menghadirkan pembicara Kurniawati Hastuti Dewi, Peneliti PR Politik BRIN. Dalam paparannya, ia mengungkap kekerasan terhadap perempuan dalam politik. Ia mengutip pandangan UN Women yaitu konotasi dari setiap tindakan kekerasan yang mungkin mengakibatkan politisi perempuan mengalami kesengsaraan atau penderitaan fisik dan seksual sehingga psikologis terganggu. Termasuk di dalamnya ancaman tindakan tersebut, seperti pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang dalam kehidupan publik atau pribadi.

Kurniawati berpendapat, berdasarkan hasil riset Inter Parliamentary Union dengan responden 55 anggota parlemen di 39 negara, menghasilkan data 81,8% mengalami kekerasan psikologis, 65,5% penghinaan seksis, dan 20% mengalami pelecehan seksual. Hasil riset di tahun 2016 ini menjadi masalah global. Kemudian pada tahun 2018 juga tercatat kekerasan di dalam politik yang menjadi sebuah hambatan dalam partisipasi politik.

Kasus-kasus ini lantas menjadi perhatian ibu-ibu atau para perempuan dari Aceh sampai Papua yang mempunyai koneksi global. Di mana hal ini mempunyai pondasi praktis dan akademis yang kuat. Walaupun permasalahan tersebut sudah sejak lama akan tetapi baru mendapatkan perhatian di tahun 2000-an. Tahun 2019, PBB mengeluarkan resolusi tertanggal 17 Desember 2018 yang mengangkat berbagai upaya mengatasi kekerasan perempuan di dalam politik.

Kurniawati menuturkan pandangan Krook, di dalam dunia akademik, kekerasan terhadap perempuan dalam politik merupakan fenomena tersendiri yang melibatkan berbagai kerugian untuk menyerang dan melemahkan perempuan sebagai aktor politik. Motivasi utamanya bukan hanya untuk menang dalam permainan kompetisi partisan, melainkan untuk mengecualikan perempuan sebagai kelompok dari kehidupan publik.

Paparan berikutnya disampaikan Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah. Ia menyoroti tiga persoalan perempuan di dalam politik. Pertama, kepemimpinan dan representasi perempuan dalam politik. Hak sosial politik perempuan dalam penyelenggaraan pemilu hingga kini harus terus diperjuangkan agar dalam target kuota (minimal) 30% tercapai. Kedua, diskriminasi dan kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan sebagai bacaleg, caleg, maupun pemilih baik intimidasi, teror, maupun ancaman yang melanggar hak konstitusional untuk hidup bebas dari diskriminasi dan merasa aman. Ketiga, regulasi, perundang-undangan dan kultur yang mendiskriminasikan perempuan sebagai caleg maupun pemilih. Alimatul berpendapat, penyelenggaraan pemilu diharapkan berorientasikan ramah perempuan dan inklusi. Hal ini bisa dilakukan dengan mendekatkan perempuan pada pengetahuan kepemiluan yang meliputi aturan, proses, pelaksanaan, penetapan dan pelanggaran pemilu, mendekatkan perempuan dengan keamanan digital, kampanye, dan pencitraan diri di media sosial. Termasuk, mengenali bentuk kekerasan, mencegah kekerasan terhadap perempuan dalam pemilu, serta menghentikan pembungkaman. (suhe/ed: And)