Jakarta – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Politik (PR Politik), Organisasi Riset Ilmu Sosial dan Humaniora (OR IPSH) menyelenggarakan Webinar pada Selasa (20/06), secara daring. Kegiatan tersebut membahas tema ”Buka Keran Ekspor Pasir Laut: Siapa Untung dan Buntung”. Acara tersebut menghadirkan para pembicara yaitu Sandy Nur Iklal Raharjo selaku Peneliti PR Politik BRIN dan Bismar Arianto sebagai Dosen Universitas Maritim Ali Haji (Umrah Kepri), dengan dipandu moderator Imam Syafi’i selaku Peneliti PR Politik BRIN.

Dalam sambutan pembuka, Kepala PR Politik, Athiqah Nur Alami menginformasikan kontroversi pasca diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut yang sudah resmi diundangkan tanggal 15 Mei 2023. Ia memandang dari sisi kebijakan, dengan kata lain, hal itu menandai dicabutnya larangan ekspor pasir laut yang sudah berlaku sejak 2003.

Menurut pandangannya, sebelum dicabut, Indonesia merupakan pemasok terbesar pasir laut untuk memenuhi kebutuhan reklamasi di negara tetangga. Sehingga bisa dibayangkan, ketika kemudian kebijakan eksportir waktu itu dibuka pastinya menuai berbagai respons. Bahkan sejumlah organisasi non pemerintah mendesak pencabutan PP tersebut dan mendorong adanya moratorium permanen atas pasir laut dan reklamasi pantai di Indonesia. ”Hasilnya, terjadi penolakan yang juga didasarkan kemungkinan adanya legalisasi tambang pasir di Indonesia. Bahkan, jangka panjangnya akan memperburuk krisis atau perubahan iklim di kawasan kecil bahkan juga keberlanjutan ekosistem di laut,“ ujarnya.

Indonesia terdiri dari kepulauan sehingga dibukanya ekspor fasilitas sangat bergantung pada mereka yang hidup di pulau. Untuk kelompok yang perlu menjadi perhatian pemerintah mengenai pengelolaan hasil sedimentasi. Kabarnya, akan ada peraturan yang disinyalir mengancam keberlanjutan dan kelangsungan hidup ekosistem dan habitat di perairan Indonesia. Bahkan sejumlah pengamat menganalisis, kemungkinan terjadi percepatan tenggelamnya pulau-pulau kecil dan juga pantai di Indonesia.

Kerusakan permanen bagi lingkungan bisa menimbulkan berbagai dampak. Sesuai tema, siapa yang untung dan siapa yang buntung, secara prinsip pastinya masyarakat terdampak dengan adanya praktik sistem. Beruntung, dalam hal ini adalah perusahaan dan juga negara-negara yang memiliki kepentingan eksportir. ”Mudah-mudahan dari diskusi ini diperoleh pencerahan ke depannya untuk memberi rekomendasi kepada pemerintah adanya pengaturan ekspor pasir,” harap Athiqah.

Bismar Arianto, memaparkan tema “Sejarah Kelam Penambangan Pasir Laut dan Catatan Kritis terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023”. Ia menyoroti, dasar kebijakan yang lemah adalah pemerintah yang mengklaim bahwa yang diatur dalam PP tersebut bukanlah rezim penambangan, namun pada faktor lingkungan berupa tata kelola dan pembersihan sedimentasi pasir. Ia lantas menguraikan, pada masa penambangan pasir laut periode 1970-an sampai 2000-an, para pihak yang pro pertambangan mengatakan bahwa penambangan dilakukan di palung yang berisikan pasir. Namun dalam praktiknya ternyata meluluhlantahkan sampai kawasan pesisir.

Ia mengatakan, banyak pakar yang mengkritisi bahwa dasar hukum yang dirujuk dalam PP tersebut hanya UUD 1945 dan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Lalu muncul pertanyaan, mengapa aturan ini tidak merujuk UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. ”Sanksi yang diatur dalam PP ini hanya sebatas sanksi administrasi,” ungkapnya.

Selanjutnya, Pemeritah menerbitkan PP No. 26 Tahun 2023 dengan semangat untuk meningkatkan kesehatan laut dan menggunakan istilah pengelolaan sedimentasi laut. ”Sedimentasi itu akan mengganggu jalur pelayaran dan ekosistem kelautan. Publik terutama dari kalangan akademisi, aktivis lingkungan, kelompok nelayan tidak yakin dengan narasi pemerintah bahwa terbitnya PP ini untuk meningkatkan kesehatan laut,“ lanjutnya lagi.

Sementaran Sandy Nur Iklal Raharjo memaparkan judul “Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dan Potensi Dampaknya bagi Kedaulatan dan Keamanan Negara”. Untuk memberi pandangan, diuraikannya, sesuai dengan PP No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan hasil Sedimentasi di Laut. Dalam Pasal 8, disebutkan, sarana pembersihan hasil sedimentasi dapat menggunakan kapal berbendera asing, jika kapal berbendera Indonesia belum tersedia. Lalu pasal yang menjelaskan pemanfaatan pasir laut untuk reklamasi dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, serta ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai peraturan perUU-an. Lalu beberapa poin penting pada Pasal 14 Ayat (2) menyebutkan kapal pengangkut (pasir) dapat menggunakan awak kapal berkewarganegaraan asing jika awal kapal WNI tidak tersedia, dan wajib mendapatkan persetujuan menteri. Kemudian pasal 15 ayat 4 menjelaskan bea keluar ekspor pasir.

Adapun hasil Sedimentasi di Laut adalah berupa material alami yang terbentuk oleh proses pelapukan dan erosi. Hal itu terdistribusi oleh dinamika oseanografi dan terendapkan yang dapat diambil untuk mencegah terjadinya gangguan ekosistem dan pelayaran. Sedangkan Zona pengecualian terdiri dari lingkungan kerja, pelabuhan, terminal khusus, wilayah izin usaha pertambangan, alur pelayaran, serta inti kawasan konservasi. Sandy menyebutkan, tim kajian penyusun dokumen perencanaan yang mempunyai kewenangan antara lain kementerian di bidang kelautan, perhubungan, ESDM, lingkungan hidup, instansi hidrografi dan oseanografi, pemda, perguruan tinggi, serta K/L terkait lainnya yang tertuang dalam PP No. 26 Tahun 2023. Dapat disimpulkan, terdapat tiga factor dampak penambangan pasir laut. Pertama, secara Fisik kimia akan terjadi penurunan kualitas air, abrasi/erosi, pulau tenggelam, perubahan geomoforlogi dasar laut (batimetri), perubahan pola gelombang, perubahan pola dan kecepatan arus, serta perubahan garis pantai. Kedua, secara biologis akan terganggunya vegetasi pantai, rusaknya terumbu karang, padang lamun, dan  ekosistem laut. Ketiga, di sisi Sosial-Ekonomi-Budaya, adanya kebisingan kapal pengeruk pasir, berkuranganya pendapatan nelayan, penurunan hasil tangkapan nelayan, naiknya harga ikan, serta nelayan yang beralih profesi sehingga bertambahnya pengangguran. (Bams)