Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB) menyelenggarakan International Lecture Series secara hybrid, Kamis (13/07). Kegiatan ini bertemakan ”Tantangan Perbedaan: Tentang Kategori dan Kepemilikan Kelompok”. Pada acara kali ini menghadirkan pembicara Adam Seligman, seorang profesor dari Universitas Boston, sekaligus Direktur dari Communities Engaging with Difference and Religion (CEDAR).
Dalam sambutannya, Kepala PRMB, Lilis Mulyani mengatakan bahwa Indonesia dikenal sebagai negara yang multikultural dan multi agama. Ini merupakan tantangan dan juga kesempatan untuk belajar mengelola perbedaan. Menurutnya, perbedaan lebih besar dari peluang yang dapat diraih. ”Meski Indonesia hidup rukun dengan perbedaan yang berbeda sesuai dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika, tetapi banyak konflik yang berasal dari ranah agama, serta komunal berdasarkan ras yang sama atau kelompok etnis,” ujar Lilis.
Adam bercerita, perbedaan adalah sesuatu yang sangat sederhana. Ia memulai pembahasan dari realitas dalam kehidupan yang secara historis muncul di masa lalu seperti Kekaisaran Romawi atau Ottoman, Austro, Hongaria, dan lainnya. Ini yang menghadirkan munculnya beragam bangsa modern. Itu sedikitnya disertai dengan upaya untuk menyeragamkan penduduk sehingga semua warga negara akan berbagi dalam satu bahasa.
Lantas Adam memperjelas, ”Bangsa-bangsa yang muncul dari kehancuran Kekaisaran Ottoman dan Austro-Hungaria di Perang Dunia Pertama yang sering didefinisikan dalam istilah kemurnian etnis atau ras tertentu. Kesombongan yang mungkin memang berasal dari penaklukan kembali dan pengusiran Yahudi dan Muslim berikutnya dari Semenanjung Iberia pada akhir abad ke-15.”
Lebih lanjut Adam menanggapi kenyataan di lapangan, realitas sosial yang ada telah menolak kesesuaian. Hal ini menyebabkan peningkatan jumlah pengungsi dan migran. Pada akhirnya, ruang publik yang menjadi salah satu penyebab dari meningkatnya kebutuhan untuk belajar. Sebab, sebagian dari kelompok masyarakat tumbuh bersama dalam usia tertentu.
Dari perkembangan tersebut dan konsekuensinya, dalam konfigurasi sosial di berbagai negara, telah mengakibatkan kebutuhan untuk menghadapi perbedaan dengan cara yang biasa dilakukan oleh sedikit orang. Ras, agama, orientasi seksual, bahkan identitas gender menjadi kategori yang umumnya dipahami secara moral dicurigai dan sesuatu yang harus dihindari.
Adam memberikan contoh perumpamaan, jika ada seorang muslim bersekolah di sekolah katolik, ketika tumbuh dewasa apakah mempengaruhi keyakinan? Menurutnya, individu dalam hal ini sebagai pengecualian, jika pengalaman bertentangan dengan kerangka normatif yang ada. Lalu ia menanggapi, ”Kita menghindari ketidaknyamanan. Tapi mungkin kita memperdagangkan ketidaknyamanan yang lebih mengancam dari menantang ke seluruh alam semesta sebagai konteks”.
Jadi, apa yang harus disadari adalah yang dianggap sebagai ancaman, bukanlah informasi, perjumpaan, atau pengalaman pribadi tertentu. Menurut Adam, ini juga merupakan cara untuk menyangkal perbedaan. Dalam arti tertentu, penolakan terhadap perbedaan seperti itu sendiri merupakan bentuk ketidakpedulian terhadap apa yang berbeda, dengan membingkai sifat berbeda dari posisi atau tindakan. Selanjutnya, Adam menjelaskan tentang bagaimana campuran dari berbagai agama, ras, suku dan bangsa dalam kehidupan masyarakat. Ia memberi contoh penyimpangan individu dari ekspektasi normatif, terkait ide-ide individu yang tidak sesuai. Ia juga mempermisalkan gagasan islami seperti kesehatan, kerendahan hati. Juga tentang gagasan yahudi tentang kesopanan sistemik, larangan kristen terhadap kesombongan, dan sebagainya. Menurutnya, dari sifat rendah hati, kita bisa mengetahui batas-batas dari apa yang dapat diketahui secara masuk akal. Hal tersebut menjadi awal yang adil untuk hidup bersama. (ANS/ed:And/Dok.ANS)