Jakarta – Humas BRIN. BRIN melalui Pusat Riset Pendidikan (Pusrisdik) menyelenggarakan diskusi terbuka tentang pernikahan dini pada pelajar dan efektifitas layanan BK di Sekolah. Kegiatan berlangsung secara daring pada Selasa (18/07). Tema tersebut diulang langsung dengan menghadirkan para pembicara, yaitu Periset BRIN, Hayadin, Guru SMKI 31 Jakarta, Nunung Widyaningsih, serta Konsultan dan Dosen BK UNM Husni Hanafi. Pembahasan dipandu oleh Moderator, Fajar Martono, selaku Peneliti BRIN.
Hayadin memberi pengantar dengan menyampaikan bahwa kelompok risetnya secara rutin melakukan kajian setiap minggu. Dari proses tersebut selanjutnya tema pernikahan dini pada pelajar menjadi salah satu topik diskusi. Riset dilakukan dengan mengamati sebuah tren di salah satu daerah di Jawa Timur. Salah satu hal untuk mengetahui lebih jauh, kelompok risetnya mencoba menghubungi pihak Makam Agung yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan izin “dispensasi nikah”.
Menurut Hayadin, isu ini dikaji dari pendekatan konsep maupun teori-teori pendidikan. Beberapa sumber informasi diperoleh dalam risetnya terkait permohonan dispensasi kawin yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tahun 2018-2021. Disebutkannya, ada tren yang meningkat sejak 2018-2019 yang kemudian pada 2020 pergerakannya tinggi sekali bahkan sampai dengan 2021 masih tinggi dan mengalami booming awal 2022.
”Sebenarnya isu yang diangkat oleh media sudah terjadi pada beberapa waktu yang lalu baik 2021 maupun 2020 atau sebelumnya. Menarik, pada tahun 2020, ketika virus corona melanda, justru pernikahan dini atau permohonan dispensasi untuk kawin, angkanya malah tinggi sampai 2021,” jelasnya. Informasi tersebut diperolehnya dari narasumber di Mahkamah Agung yang menyampaikan bahwa, dari sisi hukum, pertambahan jumlah frekuensi dari permohonan dispensasi kawin, salah satunya yang disebabkan oleh perubahan peraturan nikah itu dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 74 berubah pada tahun 2016. Di mana, disebutkan, usia nikah minimal bagi perempuan adalah usia 16 tahun. Ketika perempuan sudah berusia 17 tahun, secara hukum dibolehkan untuk melakukan pernikahan atau perkawinan, dan perubahannya menjadi umur 19 tahun baik perempuan maupun laki-laki.
Maka banyak kasus di mana orang tua tidak tahu jadi ketika anaknya dalam proses adat maupun proses sosial pergaulan dipersiapkan untuk menikah, namun ternyata secara hukum KUA tidak diperbolehkan. Namun juga lantaran sudah ada UU yang mengatur, maka angka permohonan dispensasi kawin menjadi meningkat. Apapun itu, yang menjadi hal penting adalah sistem pendidikan anak usia 17-18 tahun adalah usia sekolah. Dari riset di Jawa Timur menunjukkan bahwa anak-anak melakukan dispensasi kawin terjadi pada usia SMA/SMK bahkan ada yang SMP. Untuk itu, diskusi ini berupaya membahas peran sekolah atau lembaga pendidikan yang tanggung jawab tidak hanya mentransformasi ilmu pengetahuan dalam bentuk mata pelajaran, tetapi sekolah harus memastikan keberlangsungan masa depan anak secara baik secara linier dari sisi psikologi.
Nunung dalam paparan berjudul “Pernikahan Dini pada Pelajar dan Efektivitas Layanan BK di Sekolah” mengatakan, pernikahan dini pada pelajar merupakan suatu permasalahan yang serius. Di jelaskannya, pernikahan dini Itu penyebabnya adalah karena sosiokultural dan sosial ekonomi. Tetapi itu tidak mutlak. Beberapa kasus pernikahan dini di masa sekolah disebabkan pergaulan bebas yang berdampak pada kehamilan yang tidak diinginkan. Ada juga karena rendahnya ekonomi keluarga, kurang iman, budaya, dan keinginan sendiri.
Layanan Bimbingan dan Konseling (BK) merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya pernikahan dini pada pelajar. Namun efektivitas layanan BK menjadi permasalahan di bangku sekolah karena banyak yang tidak memanfaatkan layanan tersebut atau tidak merasa terbantu dengan layanan yang diberikan. Padahal, tujuan layanan BK terutama di SMK banyak sekali untuk memfasilitasi peserta didik terutama dalam merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir, dan juga kehidupan masa depan.
Tetapi akan mengalami hambatan atau kesulitan terutama ketika mereka mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Dari sini BK seharusnya bisa menjadi solusi untuk mengatasi pernikahan dini dan juga memberikan pendampingan bagi pelajar yang mengalami masalah dalam kehidupan pribadi. Tetapi kenyataannya, tantangan di sekolah, masih banyak topik kesehatan reproduksi yang masih dianggap tabu. Bahkan kurangnya dukungan dan fasilitas yang memadai, stigma, dan juga ketidaknyamanan pada remaja dan orang tua serta guru ketika mendiskusikannya.
Masih banyak faktornya, seperti pemahaman yang masih kurang, keputusan yang diambil oleh orang tua seperti lebih baik menikah ketika sudah ada kasus kehamilan yang tidak diinginkan, dan sebagainya. Pemahaman tentang kesehatan reproduksi juga masih kurang dipahami orang tua dan siswa,. ”Untuk itu kampanye tentang bagaimana mencegah pernikahan dini tampaknya perlu kembali diberikan di sekolah,” jelas Nunung.
Nunung menambahkan, guru BK berperan penting memberikan pendidikan seksualitas di sekolah serta konseling. Ia bisa bermitra dengan Lembaga swadaya masyarakat, membentuk pendidik dan konselor sebaya, membentuk komunitas praktisi peduli remaja, dan membuka jejaring dengan puskesmas, Sudin/Dinas PPAPP, BNP, dll.
Selanjutnya, Husni memaparankan topik “Peran dan Fungsi Guru BK dalam Prevensi Pernikahan Dini Siswa”. Ia menyampaikan tiga strategi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan atau memaksimalkan kapasitas anak. Cara ini membuat anak bisa mengaktualisasikan dirinya. ”Íni tentunya akan memberikan Efek deselerasi terhadap kecenderungan mereka untuk melakukan pernikahan dini,” ucapnya. Langkah selanjutnya, pembentukan lingkungan yang mampu mencegah pernikahan dini.
Husni mengatakan, kemitraan dan kolaborasi menjadi salah satu tugas guru BK untuk menjembataninya. Pembentukan program dukungan terhadap anak-anak akan memiliki kekuatan dalam menghindari pernikahan dini, termasuk memberi pemahaman orang tua yang kurang mendukung anak.
Ia menguraikan, ada beberapa poin yang perlu ditekankan, ketika berurusan dengan kasus pernikahan dini. Poin untuk merencanakan masa depan, kemaslahatan kemandirian, dan kemaslahatan peserta didik. Banyak yang harus direduksi seperti hubungan interaksi sehat dengan lawan jenis, tanggung jawab pernikahan, kematangan diri, dan persiapan menikah.
Husni menambahkan, banyak yang harus dipersiapkan dalam program layanan pendidikan. Hal itu seperti bagaimana menyiapkan diri sebagai konselor sekolah, kolaborasi internal misalnya dengan Kepala Sekolah, dan bentuk kolaboratif layanan bimbingan yang dapat melibatkan guru – guru, seperti biologi, PKN, agama, juga bisa melibatkan ketua agama. Pelibatan ini untuk memotret perilaku seksual si pelajar dari seluruh kajian sudut pandang. Sehingga itu bisa membekali mereka dalam pengambilan keputusan, terutama ketika berinteraksi dan membina hubungan dengan lawan jenis baik sebagai teman maupun dalam lingkup model bimbingan. Satu hal yang penting juga, yaitu membangun kolaborasi dengan orang tua dengan cara memberikan layanan informasi dan konsultasi, contohnya melalui grup WhatsApp orang tua, koordinasi berkala, atau mengadakan pertemuan wali murid. Aksi selanjutnya adalah optimalisasi catatan kumulatif seperti catatan kumulatif atau buku siswa yang akan menjadi kumpulan data siswa yang bisa digunakan untuk berkolaborasi dengan orang tua untuk pemantauan dan monitor. (Noor/ed:And/Dok. Noor)