Jakarta – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyelenggarakan webinar Kecerdasan Buatan dan Peran Manusia: “Isu-Isu tentang Pendidikan Karakter”. Kegiatan ini berlangsung secara hybrid di Kantor Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo BRIN Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (20/7).

Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH), Ahmad Najib Burhani dalam sambutannya mengatakan, Artificial Intelligence (AI) adalah sebuah mesin learning atau sebuah mesin yang sudah bisa belajar sendiri, memproduksi pengetahuan sendiri, dengan akumulasi tesis dan printesis yang ada di dalamnya (bisa menggandakan sendiri dari pertanyaan yang kita ajukan).

Najib berkata, yang menarik dari AI adalah terus berkembang atau mesin yang mengumpulkan data dan yang memiliki memori atau ingatan sangat besar/big data dari yang dimiliki. Dalam beberapa mesin yang baru sudah memiliki filling, bisa menciptakan lagu, ayat-ayat, dan menjawab pertanyaan dengan tepat dan cepat.

Lebih jauh Najib mengatakan, isu AI ini belakangan menjadi pembicaraan di banyak forum dan menjadi tema di media massa. Apakah AI ini menjadi akhir dari sejarah manusia, dan apakah kehidupan kita nanti digantikan oleh AI yang lebih cerdas, lebih pintar, lebih murah dan sebagainya dibandingkan dengan tenaga manusia. “AI sekarang sudah menjadi kotak hitam dalam kemanusiaan yang bisa membawa manusia menjadi bencana besar. Saat ini kita terfokus pada tahap kekaguman dan dampak dari keberadaan AI yang belum banyak dibicarakan. Seperti halnya terkait dengan karakter, etika, dan kehidupan manusia menjadi sesuatu yang perlu dibicarakan,” ungkapnya.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Pusat Riset Pendidikan, Trina Fizzanty mengatakan, ”Bicara peluang, tantangan, dan kehadiran teknologi kecerdasan buatan, sebagaimana kita tahu kemajuan teknologi AI ini telah ada sejak akhir 1956 atau dengan berkembangnya komputer science. Akan tetapi masih sangat sedikit sekali yang membicarakan di bidang riset sosial atau bidang yang luas untuk kita membahasnya,” ujarnya.

Trina berpendapat, masalah yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana kita menempatkan AI di dalam panduan negara Indonesia. Dengan kondisi negara kita, di mana infrastruktur yang belum tersebar secara merata, sosial ekonomi yang berbeda dengan negara lain, dan bahkan dengan nilai-nilai falsafah pancasila, perlu dikaitkan dengan konteks ini.

Trina menyampaikan, yang paling menantang adalah pendidikan karakter, maka perlu memberikan kontribusi pada AI. Riset-riset pendidikan perlu memberikan perhatian dengan hal ini. ”Kita harus memberikan kontribusi, bagaimana kebijakan AI dari awal oleh para ilmuwan yang akan memberikan manfaat bagi manusia, juga diperlukan kolaborasi antar lintas keilmuwan,” ucapnya.

Dalam paparannya, Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, Ali Ramdhani mengutarakan, AI menghadirkan ruang/fase dan dinamika atau model baru. Di mana kerap kali dianggap sebagai pengganti dari nilai-nilai kemanusiaan. Kecerdasan buatan hadir dengan pola yang luar biasa  dan mampu melakukan proses berpikir dan beraktivitas seperti manusia secara rasional.

Ali berkata, perlu dipahami dari kehadiran kecerdasan buatan ini dengan menempatkan  ruang-ruang penemuan baru termasuk teknologi itu. ”Jangan menjadi pengganti dari nilai-nilai yang baik. Di mana artifisial pada titik tertentu menghadirkan nilai-nilai yang baik atau buruk,” ujarnya. Menurutnya, di Indonesia sudah dikembangkan sebuah konsep strada kecerdasan artifisial. Sejak tahun 1920 dirumuskan sedemikian rupa secara baik dengan pilar-pilar di bidang prioritas kecerdasan artifisial, sebagai salah satu unsur pada ruang pendidikan. Seminar ini menghadirkan para narasumber lainnya yaitu La Ode Masihu K dari Rektor Universitas Insan Cita Indonesia dan Rustamaji selaku Sekretaris Yayasan CREATE (Madrasah Techno Natura Depok). (suhe)