Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB) mengadakan Forum Diskusi Budaya (FDB) seri 62 dengan membahas tulisan yang merupakan bagian dari buku Parade Hantu Siang Bolong yang ditulis oleh Titah A.W. Ia merupakan jurnalis sekaligus penulis. Dalam kegiatan ini ia hadir sebagai narasumber bersama dengan Letsu Vella Sundary selaku Peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya(PRMB) BRIN. Acara berlangsung secara daring, Senin (24/7).

Dalam sambutannya, Kepala PRMB, Lilis Mulyani mengatakan, diskusi budaya adalah sebuah ruang yang digunakan untuk mempertemukan berbagai gagasan, berbagai karya terbaru ataupun publikasi. Tujuannya untuk mencerahkan dan membuka mata serta berkontribusi pada dunia pengetahuan sosial budaya di Indonesia. Ia mengatakan, mitos itu seringkali dianggap sesuatu yang di luar nalar. Mitos masih menjadi bagian dari kompleksitas masyarakat dan juga bagian dari world view masyarakat itu sendiri. Mitos seringkali membantu masyarakat lokal menarasikan sesuatu yang berada di luar nalar atau berada di luar bukti empiris.

Modernitas juga menjadi salah satu alasan terbesar penyebab dari krisis ekologis di dunia ini. Maka, Titah menjelaskan Buku Parade Hantu Siang Bolong yang terbit tahun 2020 berisi 16 reportase. Tidak semua isi buku ini membahas soal hantu dalam artian hantu. Parade hantu di sini adalah analogi untuk hal-hal yang mungkin juga membahas tentang klenik yang belum bisa dibuktikan secara nalar. Juga membahas tentang lokalitas atau hal-hal dan peristiwa yang sebenarnya ada di sekitar kita dan dekat dengan keseharian kita.

Lalu ia memberi contoh Komunitas Penyembah Pohon yang konon katanya menyelamatkan Gunung Kidul dari kekeringan, pasang susuk, dan praktik klenik yang tetap lestari di Jawa, kelestarian para penghayat muda melestarikan ajaran leluhur, dan pesta antar dimensi di Banyumas. Ada contoh lain, di Temanggung upacara tradisi menyatukan air dari 7 sumber air, di Majalengka proses mengawinkan batu sebagai simbol ritual yang menimbulkan kerukunan warga.

Berbicara tentang six sense, ada yang bakat ada juga yang mengatakan hal itu bisa dilatih. Menurutnya, ketika kemampuan itu bisa dipelajari oleh orang lain, berarti ada sebuah sistem pengetahuan itu di situ. Apakah metode ini nanti bisa benar terjadi? Misalnya dianggap juga sebagai metode penelitian dalam pencarian sejarah. Segala yang di luar nalar, baik mitos dan lokalitas itu disimbolkan, jika Indonesia adalah buku, maka genrenya adalah realisme magis.

Demikian, alasan dia menulis buku tersebut yaitu karena orang cenderung memusuhi atau menghakimi hal-hal yang tidak mereka mengerti. Baginya, banyak asumsi muncul bahwa orang tidak percaya dengan hal tersebut. ”Banyak hal yang bisa kita pelajari dari pengetahuan lokal, banyak liputan soal isu-isu tentang mitos dan tujuan, ungkapnya. Maka Titah menulis buku tersebut untuk mengenalkan tradisi lokal ke masyarakat lebih luas supaya pengetahuan lokal setara dengan pengetahuan modern.

Lalu Letsu dalam paparannya membandingkan antara realitas tradisional dan modernitas dengan sangat apik. Sehingga tidak ada pihak yang merasa pro modernitas serta merasa seperti diserang oleh orang-orang yang mendukung realitas dari tradisionalitas. Baginya, orang-orang tradisional merasa minder ketika misalnya ada opini yang berbau isu modernitas. Cara hidup, serta kepercayaan atau falsafah adalah kelompok lokal yang terbawa ketika diteliti dan biasanya dijelaskan secara holistic. Bagaimana mereka memercayai hal tersebut? Letsu lantas menjelaskan, dalam istilah modern, biasanya disebut memori kolektif. Ini juga berhubungan dengan cara hidup orang jawa kuno yang akrab dengan simbolisme dan seluruh aktivitasnya. Dia mengungkapkan, bahwa fenomena tersebut alih-alih sekadar anti dan menganggap itu sebagai sebuah sains. (ANS/ed:And – dok.ANS)