Jakarta – Humas BRIN. Tim Cluster Konflik Pertahanan dan Keamanan, Pusat Riset Politik (PRP) BRIN menyelenggarakan webinar bertajuk Pelanggaran Polisi dan Tantangan bagi Polri Presisi, Senin (24/07). Kegiatan ini menghadirkan dua pembicara, Sarah Nuraini Siregar, Peneliti PRP BRIN dan Asep Iwan Irawan, Akademisi Universitas Trisakti. Jalannya acara dipandu Moderator, Mario Surya Ramadhan, Peneliti PRP BRIN.
Dalam sambutannya, Kepala PRP, Athiqah Nur Alami mengatakan bahwa selama ini Tim Cluster Konflik Pertahanan dan Keamanan menggunakan metode monitoring pada media online selama kurun waktu Januari hingga Juni 2023, untuk kebutuhan pemantauan terkait pelanggaran polisi dan tantangan bagi polri presisi. ”Tim telah mengidentifikasi sekira ada 88 kasus pelanggaran polisi yang bertugas,” kata Athiqah. Ada beragam kasus, mulai dari kekerasan kepada masyarakat, penyalahgunaan narkoba, hingga penyalahgunaan wewenang polisi sebagai aparat keamanan. Sebagaimana studi kasus yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara dan Jawa Timur.
Athiqah menambahkan, dengan masih maraknya sejumlah pelanggaran oleh polisi, artinya kepolisian sebagai institusi penegak hukum nampaknya memang masih menghadapi tantangan. Tim ini menyoroti, di bawah kepemimpinan Kapolri Listyo Sigit Prabowo, apakah memang slogan Polri Presisi tersebut memang akan terinternalisasi dalam hal perbaikan layanan dan kinerja publik kepada masyarakat. Di mana, slogan tersebut merupakan akronim atau kependekan dari Prediksi Responsibilitas dan Transparansi Berkeadilan. Apakah menjadi lebih humanis dan lebih berkeadilan? Di mana slogan tersebut diharapkan menciptakan soliditas sinergitas di kalangan Polri, tidak hanya menjadi jargon tanpa makna.
Ia lalu menjelaskan, jargon tersebut dapat mengarahkan Polri menjadi institusi penegak hukum yang mengedepankan rasa keadilan dan profesionalitas dalam menjalankan tupoksinya. Setidaknya sebagai pelindung atau pengayom dan pelayan masyarakat, sehingga kepercayaan dari masyarakat kepada Polri kembali terbangun.
Sarah dalam paparannya mengatakan bagaimana presisi ini menjadi sebuah jargon bahkan target Kapolri untuk membenahi Polri agar lebih baik. Sarah menggambarkan saat HUT ke-77 Bhayangkara pada tanggal 1 Juli 2023. Di situ, Presiden Joko Widodo berharap agar Polri dapat memberikan perasaan aman kepada masyarakat, rasa keadilan, dan juga merasa diayomi. Bahkan arahannya mampu memberikan kepastian perlindungan, kepastian hukum, dan kepastian berusaha.
Menariknya, pernyataan Kapolri, Listyo Sigit Prabowo yang mengatakan, Polri berkomitmen untuk terus berbenah siap melakukan koreksi. Dari hasil monitoring media, Tim Cluster ini mengumpulkan data hasil survei yang dilakukan oleh beberapa institusi atau lembaga survey. Data perolehan ditujukan terkait fluktuasi tingkat kepercayaan kepada polisi. Ada perbedaan metode survey yang dilakukan oleh Kompas dan lembaga survey lainnya.
Sarah menambahkan dari sisi jumlah kasus per provinsi ada 88 kasus pelanggaran polisi, dengan Sumatera Utara memiliki kasus pelanggaran tertinggi yaitu 14 kasus. Berbagai jenis pelanggaran yang terjadi seperti kekerasan fisik non fisik, narkoba, dan sebagainya. ”Dari 88 kasus tersebut ada 101 pelanggaran. Jenis pelanggaran tertinggi yaitu perbuatan tercela dan penyalahgunaan kejahatan narkoba,” urainya.
Hal yang perlu dilakukan, perlu peningkatan disiplin personil dan pembinaan internal serta responsif atas pengawasan internal. Penguatan kultur melayani dan melindungi masyarakat perlu dilakukan kembali dan perlu fokus pada persoalan kesehatan mental para personilnya. Selanjutnya, Asep dalam paparannya menyampaikan tentang terminologi hukum. Istilah pelanggaran diwariskan sudah sejak zaman Belanda. Ia juga menjelaskan program presisi Kapolri yang tidak pernah mengumumkan seorang terdakwah atau seorang tersangka. Program presisi yang dijelaskannya, muaranya adalah bicara keadilan sesuai konstitusi dan menempatkan bahwa keadilan itu adalah mahkotanya. Sementara mahkota penegakan hukum lebih tinggi adalah kejujuran. Dalam hal ini, ia menegaskan, publik harus ada atribusi, distribusi, dan kontribusi. Artinya, untuk mendukung polisi presisi, memang harus ada masukan namun kembali pada fundamental solusi pembenahan, oknum yang menyimpang dari preseden harus menerima. (Noor/ed: And)