Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB) BRIN bekerja sama dengan Penerbit Buku Kompas menyelenggarakan Peluncuran Buku Pribumi, Minoritas Tionghoa, dan China, Rabu (26/7) di Gedung Widya Graha Lantai 1 Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo BRIN Gatot Subroto Jakarta. Buku setebal lebih dari 500 halaman ini ditulis oleh Prof. Leo Suryadinata dan diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas.
Leo Suryadinata dikenal sebagai pakar senior internasional di bidang etnis Tionghoa di Asia Tenggara. Ia merupakan peneliti senior tamu pada Lembaga Studi Asia Tenggara Yusof Ishak dan dosen tamu di Sekolah Studi Internasional S. Rajaratnam Universitas Teknologi Nanyang Singapura. Buku ini merupakan pembaruan dari buku yang ditulisnya dan diterbitkan pada tahun 1984 dengan judul Dilema Minoritas Tionghoa.
Buku ini membahas persepsi pemimpin pribumi dan minoritas Tionghoa mengenai bangsa Indonesia. Persepsi yang dibahas terutama mengenai etnis Tionghoa di Indonesia sejak zaman kolonial sampai sesudah kemerdekaan. Berdasarkan persepsi elit pribumi ini, yang berbeda dengan persepsi etnis Tionghoa, maka pelbagai kebijakan terhadap minoritas Tionghoa ini telah dibuat. Termasuk kebijakan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan kewarganegaraan. Dalam buku tersebut bahkan juga dibahas hubungan Indonesia dan China yang tidak luput dari persepsi pribumi.
Kepala PRMB Lilis Mulyani dalam kata sambutan sekaligus membuka kegiatan ini mengatakan bahwa buku ini merupakan sebuah karya akademik dari seorang ilmuwan yang kontribusinya terhadap ilmu pengetahuan sudah tidak diragukan lagi. “Meskipun lama bermukim dan mengajar di Singapura, tapi fokus perhatian, hati, dan bidang riset Prof. Leo tidak pernah luput dari perkembangan sosial, budaya, dan ekonomi di Indonesia,” kata Lilis.
Lebih lanjut dikatakannya bahwa karya-karya Leo Suryadinata konsisten memperjuangkan hak kelompok minoritas Tonghoa dan saat ini juga telah diakui secara nasional dan global sebagai ilmuwan dan sinologi Tionghoa di Indonesia. “Karya-karya beliau konsisten memperjuangkan hak kelompok minoritas Tionghoa,” ucap Lilis lagi.
Menurut Lilis, PRMB juga memiliki fokus pada riset-riset tentang kelompok minoritas, di antaranya di bawah Kelompok Riset Multikulturalisme. ”Beberapa peneliti kami juga telah lama berkecimpung dalam riset ini, sehingga diharapkan akan tumbuh dan semakin banyaknya peneliti-peneliti muda yang dapat mengembangkan minatnya pada topik ini,” imbuhnya.
“Kita juga berharap akan tumbuh dan semakin banyaknya peneliti-peneliti muda yang dapat mengembangkan minat pada topik ini secara khusus maupun topik-topik lain untuk perkembangan ilmu pengetahuan ilmu sosial dan kemanusiaan secara umum,” harap Lilis.
Tentunya ini sebuah tantangan besar untuk meningkatkan kapasitas dan keterampilan maupun keilmuan dan kepakaran para peneliti yang ada di BRIN. Menurutnya, PRMB BRIN berkomitmen untuk terus membantu rekan-rekan muda, rekan-rekan peneliti muda maupun peneliti lainnya untuk terus membangun sebuah kelompok diskusi yang nyata konsisten dan berkelanjutan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Salah satu kerja sama yang dilakukan termasuk dengan Penerbit Buku Kompas, tidak hanya bertujuan untuk mendiseminasikan hasil riset. Namun, Lilis mengungkapkan PRMB akan berkomitmen untuk berkolaborasi dalam melakukan riset-riset. “Bahkan antara PRMB pada Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora dengan Litbang Kompas. Mudah-mudahan akan segera terlaksana,” ungkap Lilis.
Sementara itu, perwakilan dari Penerbit Buku Kompas Patricius Canahar merasa senang dan mengucapkan terima kasih kepada Leo Suryadinata. Buku ini merupakan satu karya yang proses penerbitannya mengalami perjalanan yang cukup panjang. Dimulai sekitar tahun 2018-2019 menjelang Covid-19, dilakukan editing pada buku sebelumnya yang berjudul Dilema Minoritas Tionghoa oleh Leo dengan menambahkan poskrip di perkembangan dari etnis Tionghoa di Indonesia sampai tahun 2022.
“Ini membuktikan bahwa beliau memang seorang peneliti yang sangat handal dan tidak puas dengan satu penelitian yang sudah lampau, dengan membuat poskrip di perkembangan dari etnis Tionghoa pada tahun-tahun ini,” ungkap Patricius. Dia berharap ini menjadi pemicu bagi peneliti-peneliti lain di Indonesia dengan berbagai disiplin ilmu. Sehingga buku ini dapat menjadi pemancing dan menghasilkan penelitian-penelitian lain yang dapat diterbitkan.
Peneliti Ahli Utama PRMB BRIN, Prof. Asvi Warman Adam dalam bahasannya mengatakan bahwa buku ini adalah merupakan salah satu dari puluhan buku yang sudah ditulis oleh Leo Suryadinata tentang Tionghoa dan China. Dari buku-buku tersebut terdapat pengulangan dari satu buku ke buku yang lain. Tetapi dari sisi yang lain, juga ada kebaharuan dari buku yang satu dengan buku yang lain. “Buku ini merupakan suatu hal yang sangat penting untuk didiskusikan. Kajian ini sangat penting karena persoalan Tionghoa belum selesai dengan tuntas sampai sekarang. Masih terdengar kritik dan ejekan Asing dan Aseng,” imbuh Asvi.
Menurut Asvi, di dalam buku ini Leo menjelaskan tentang persepsi yang mempengaruhi kebijakan, dan kaum elite yang menggariskan kebijakan tersebut. Sebagian elit pribumi menerima Tionghoa sebagai anggota penuh bangsa Indonesia, sebagian lain tidak. Minoritas Tionghoa khusus Peranakan makin lama memandang diri mereka bagian dari bangsa Indonesia baru. “Namun, persepsi pribumi terhadap Tionghoa kurang banyak perubahannya dibandingkan persepsi orang Tionghoa lokal tentang Indonesia dan bangsa Indonesia,” ungkap Asvi.
Asvi menyampaikan pemikirannya dalam menyelesaikan masalah persepsi ini dengan menata memori kolektif bangsa. Agar perjuangan etnis Tionghoa dalam merebut dan mengisi kemerdekaan ini dapat diketahui oleh masyarakat. Mereka kenal dengan etnis Tionghoa yang juga pernah berjuang bersama mereka untuk merebut dan mengisi kemerdekaan, imbuh Asvi.
Selain itu, Asvi juga mengusulkan untuk menambah jumlah pahlawan nasional yang berasal dari etnis Tionghoa. Dari 200 orang pahlawan nasional di Indonesia baru terdapat seorang pahlawan Tionghoa yaitu John Lie. “Saya berharap sumbangsih budaya Cina untuk Indonesia agar dimasukkan dalam pelajaran di sekolah-sekolah,” imbuhnya lagi. Hal ini diharapkan agar tidak ada lagi kebencian, karena orang-orang Tionghoa itu punya budaya untuk Indonesia.
Sementara itu, Peneliti Ahli Madya PRMB BRIN Lidya Christin Sinaga dalam bahasannya mengangkat judul Etnik Tionghoa dalam Relasi Indonesia-Tiongkok. Stereotip negatif terhadap Tionghoa yang terus langgeng hingga saat ini, salah satunya juga adalah akibat gejolak yang terjadi dalam relasi Indonesia-Tiongkok sejak awal. “Meningkatnya pengaruh global Tiongkok dan relasi Indonesia-Tiongkok seiring globalisasi berpotensi menjadikan etnik Tionghoa di Indonesia sebagai pendulum yang bergerak di antara dua negara,” papar Lidya.
Dalam konteks relasi Indonesia-Tiongkok, ada pergeseran bahwa etnik Tionghoa tidak lagi relevan dipandang sebagai problem atau masalah Tionghoa, tetapi justru sebagai aktor yang memajukan relasi kedua negara. Di tengah arus globalisasi, perbedaan generasi Tionghoa hari ini menunjukkan cara pandang yang berbeda terkait Tiongkok, identitas kultural, dan ikatan emosional mereka. “Yang menjadi problem adalah kebijakan ambigu Tiongkok atas diaspora etnik Tionghoa,” ungkap Lidya. Tantangannya adalah bagaimana melihat keaktoran (actorship) dari etnik Tionghoa dalam relasi dua negara di tengah sentimen publik domestik Indonesia yang masih kuat.
Di akhir bahasannya, Lidya menyampaikan hal penting untuk dibaca kembali apa yang terjadi dalam periode awal relasi Indonesia-Tiongkok. Hal ini untuk dapat memaknai dengan jernih konteks politik atau gejolak politik apa yang terjadi di dalam negeri masing-masing pada masa awal berdirinya republik, terutama dalam mengelola isu terkait etnik Tionghoa. “Situasi telah berubah, apakah kita masih tetap memelihara kecurigaan dan stereotip lama yang sudah usang soal China-related anti-Chinese sentiments?,” tutur Lidya mengakhiri paparannya.
Sementara, Irawan Santoso Suryo Basuki, Peneliti Ahli Muda PRMB BRIN membahas buku tersebut dengan sebuah paparan yang berjudul Liyan yang Lain: Persepsi Terhadap Golongan Tionghoa di Indonesia. Menurutnya, persepsi itu tidak lahir dalam satu kali waktu, tetapi melalui proses dan perjalanan yang panjang. Ada beberapa pengelompokan bahwa persepsi yang terkonstruksi itu cenderung negatif, sementara persepsi yang membangun itu justru yang terafiliasi. ”Buku ini membahas masalah persepsi yang menganggap golongan Tionghoa Indonesia itu sebagai orang luar. Mereka dipandang sebagai etnis asing yang tidak nasionalis, urainya. (arial/ed: And – dok. arial)