Jakarta – Humas BRIN. Bahasa nasional merupakan identitas pemersatu dan citra diri dari sebuah bangsa. Hal tersebut disampaikan Kepala Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas (PR BSK), Ade Mulyanah, Jumat (19/9). Pembahasan tersebut berlangsung pada webinar seri 4 yang bertajuk “Identitas dalam Kebahasaan dan Kesastraan” yang diselenggarakan Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Ade mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan ragam budaya sehingga dijuluki sebagai pecahan surga dunia. Oleh sebab itu, bahasa yang merupakan identitas nasional harus dijaga dan dilestarikan karena merupakan hakikat perwujudan dari persatuan nasional. “Webinar ini diharapkan akan memberikan informasi tentang riset kebahasaan. Saya berharap akan tercipta kolaborasi antara para periset dari dalam maupun luar BRIN,” kata Ade.

Senada dengan Ade, Kepala OR Arbastra, Herry Jogaswara menjelaskan bahwa identitas merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Identitas yang bersifat jamak dan multipel akan secara otomatis digunakan ketika berhadapan dengan situasi yang berbeda. Oleh sebab itu, diskusi mengenai identitas ini akan senantiasa menarik.

Terkait dengan kolaborasi, Herry sepakat bahwa kolaborasi antarperiset sangat diperlukan agar riset-riset ini tidak dilakukan hanya dari pusat riset. “Webinar adalah salah satu cara sharing ilmu. Terima kasih kepada narasumber, selamat berdiskusi dan menghasilkan sesuai dengan harapan masing-masing,” jelasnya.

Sementara itu, Yusriadi selaku Dosen IAIN Pontianak, dalam webinar ini memaparkan materi terkait bahasa dan identitas Melayu di Kalimantan Barat. Ia menjelaskan bahasa Melayu di Kalimantan Barat memiliki banyak varian. Namun jika dikelompokkan ada empat varian utama.

Pertama, Melayu Pontianak atau yang sering dianggap sebagai bahasa Riau Johor, mirip bahasanya Upin dan Ipin dan bahasa Melayu varian utama di Malaysia. Kedua, Melayu Sambas sering dianggap mirip bahasa Melayu di Brunei, Kutai, dan Banjar. Ketiga, Melayu Ulu Kapuas yang sering dianggap mirip bahasa Melayu di Sarawak dan bahasa orang Dayak. Keempat, Melayu Ketapang yang kadang dianggap mirip Pontianak, tetapi juga dianggap mirip Melayu Ulu Kapuas.

Yusriadi menambahkan, dalam konteks bahasa Melayu di Kalimantan Barat, untuk mengidentifikasi kemelayuan seseorang maka masih perlu asas pengakuan apakah dia mengaku Melayu atau bukan. Karena banyak juga orang Dayak, Bugis, Jawa, dan Tionghoa yang menggunakan bahasa Melayu bahkan menjadikannya bahasa ibu.

“Jika di Malaysia atau Brunei, bahasa Melayu adalah bagian dari unsur untuk mengidentifikasi kemelayuan seseorang. Tetapi di Kalimantan Barat harus ditanya terlebih dahulu. Jika mengaku berarti dia Melayu tetapi jika tidak maka dia adalah seperti yang diakuinya,” imbuh Yusriadi.

Turut hadir pembicara lainnya dalam webinar tersebut yaitu Agrinus Salam (Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM), Chong Shin (Dosen Universiti Kebangsaan Malaysia), Agus Sri Danardana (Peneliti Pusat Riset, Sastra, dan Komunikasi, BRIN) dan Ratih Rahayu (Peneliti Pusat Riset, Sastra, dan Komunitas, BRIN). (ftl/ed:and)