Jakarta – Humas BRIN. Bahasa, di samping sebagai alat komunikasi, juga merupakan identitas suatu bangsa. Selain itu, bahasa juga mencerminkan budaya penuturnya. Di Indonesia, sebagai kekayaan yang seharusnya membanggakan, keragaman bahasa dan budaya justru sering menimbulkan disharmoni sosial.
Dalam sastra misalnya, sering muncul pertanyaan-pertanyaan pengaruh etnis maupun kesukuan. Apakah kejawaan dalam Buku Pengakuan Pariyem itu karena penulisnya (Linus Suryadi) orang Jawa? Apakah keminangan dalam kisah cerita Siti Nurbaya itu ada karena penulisnya (Marah Roesli) orang Minang? Apakah kemelayuan dalam Buku Gelombang Sunyi itu ada karena penulisnya (Taufik Ikram Jamil) orang Melayu? Sementara itu, meskipun sama-sama ditulis dalam bahasa Indonesia, karya-karya Chairil Anwar tidak pernah dilabeli Medan atau Betawi, tetapi selalu berlabel Indonesia.
Identitas kebahasaan tersebut dikupas pembahasannya dalam webinar bertajuk “Identitas dalam Kebahasaan dan Kesastraan”, Jumat (19/8). Kegiatan tersebut dibuka dengan pengantar laporan Kepala PR BSK, Ade Mulyanah dan dibuka secara resmi oleh Kepala OR Arbastra, Herry Jogaswara.
Kelompok Riset Bahasa, Sastra, dan Identitas pada Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas (PR BSI) Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra) menyelenggarakannya untuk memperoleh pemahaman atas keberagaman identitas bahasa dan budaya suatu masyarakat (dalam hal ini Malaysia-Indonesia).
Berbagai bahasan didiskusikan dalam webinar tersebut dengan menghadirkan beberapa pembicara. Aprinus Salam sebagai dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada mempresentasikan “Kuasa Wacana dan Masalah Identitas”. Chong Shin selaku dosen Institut Alam dan Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia memaparkan “Bahasa dan Identitas Penan Muslim di Sarawak”. Yusriadi dari Institut Agama Islam Negeri Pontianak menyampaikan “Bahasa dan Identitas Melayu di Kalimantan Barat”. Agus Sri Danardana selaku Periset Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas (PR BSK) BRIN membahas tema “Identitas Kemelayuan di Riau”. Ratih Rahayu dari PR BSK juga memaparkan “Geliat Penguatan Identitas Kedaerahan dalam Film Indonesia”.
Identitas berkaitan erat dengan ingatan kolektif, yakni ingatan suatu kelompok, komunitas, masyarakat, ataupun bangsa tertentu. Ingatan kolektif inilah yang menjadi dasar terbentuknya identitas. Identitas dapat menyangkut budaya, baik bahasa dan sastra, termasuk di dalamnya cerita rakyat, mitologi, dongeng, serta agama, ras, sosial, ekonomi, dan juga politik. Hal tersebut disampaikan Aprinus Salam.
Ia menyampaikan, pembentukan identitas tidak bisa lepas dari wacana. Hal itulah yang disebut politik identitas yang kerap mendominasi berbagai ruang, seperti ekonomi, budaya, dan sebagainya. Dalam hal ini, negara telah mencoba melakukan proses dominasi dan hegemonisasi terhadap berbagai wacana untuk merebut subjek. Maka, untuk dapat menciptakan harmonisasi keberagaman identitas di Indonesia dalam menghadapi perkembangan dunia, pembuatan rekayasa sosial perlu dilakukan.
Sementara, Chong Shin mengungkap tentang Suku Penan asli yang juga dikenal sebagai “Punan Hutan” (Jungle Punan). Shin mengatakan, mereka termasuk suku nomadik yang telah meninggalkan kawasan pergunungan di pedalaman Sarawak-Kalimantan dan tinggal menetap di tanah rata dan kawasan pantai. Aktivitas ekonomi tradisionalnya menanam padi, memburu, mencari rotan, membuat tikar dan bakul, dan lain-lain.
Pada awal abad ke-20, suku Penan mulai mengenal agama. Suku Penan Timur beragama Protestan dan Penan Barat beragama Katolik. Namun, suku Penan yang telah lama tinggal di kawasan pesisir memeluk agama Islam dan dikenal dengan nama Penan Muslim.
Tidak hanya di Sarawak, komunitas Melayu juga ditemukan di Indonesia, seperti di Kalimantan Barat dan Riau. Kondisi ini dungkapkan Yusriadi. Ia mengatakan, terdapat banyak varian Melayu di Kalimantan Barat. Empat varian utama adalah Pontianak yang sering dianggap memiliki bahasa yang mirip dengan Riau Johor. Bahasa ini seperti yang digunakan dalam serian “Upin Ipin” ataupun bahasa Melayu varian utama di Malaysia. Sambas sering dianggap mirip bahasa Melayu di Brunei, Kutai, dan Banjar. Kemudian Ulu Kapuas sering dianggap mirip dengan bahasa Melayu di Sarawak, Dayak, dan sebagainya. Selanjutnya, Ketapang terkadang dianggap mirip Pontianak dan Ulu Kapuas.
Bahasa Melayu dapat dikatakan sebagai ciri atau identitas orang Melayu yang sering dikatakan setia dalam berbahasa Melayu. Akan tetapi, tidak semua orang yang berbahasa Melayu dapat dikatakan sebagai orang Melayu. Kini telah banyak ditemukan orang yang bukan Melayu menggunakan bahasa Melayu.
Sementara itu, Agus Sri Danardana menyandingkan kemelayuan (Riau) dengan globalisasi. Menurutnya, globalisasi menciptakan keparadoksan pada dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Globalisasi juga membuat masyarakat semakin seragam (homogen). Ini membentuk cara pandang masyarakat terhadap dunia terhadap identitas, citra diri, hingga nilai-nilai hidup berubah. Maka, globalisasi melahirkan kesadaran baru akan terpinggirkannya nilai-nilai lokal oleh pencitraan. Hal itu dilakukan secara masif oleh negara-negara maju, pengusung arus globalisasi itu.
Untuk menghindari disharmonisasi yang tercipta akibat globalisasi tersebut, sesungguhnya Riau memiliki khazanah budaya sebagai bentuk kearifan lokal yang dapat dimanfaatkan, seperti Lancang Kuning, Hang Tuah, Hang Jebat, Tun Teja, dll. Sebagai produk budaya (Melayu Riau), idealnya, Lancang Kuning selalu hidup dan memberi pengaruh terhadap perilaku dan pandangan hidup masyarakat.
Lancang Kuning bukan sekadar sebuah konsep, melainkan suatu lambang dalam bentuk wacana. Dengan demikian, Lancang Kuning juga harus mampu menghadirkan sebuah sistem komunikasi yang menawarkan pesan masa lalu. Pesan ini adalah ide, ingatan, kenangan, dan bahkan keputusan yang diyakini masyarakat Riau, dalam hal ini Indonesia khususnya dan dunia umumnya.
Kemudian, Ratih Rahayu mengatakan, pemahaman akan keberagaman identitas di Indonesia dapat ditelusuri melalui perfilman yang beredar. Munculnya film-film yang mengusung berbagai identitas kedaerahan dapat menciptakan manusia yang memiliki kepekaan budaya. Sehingga hal tersebut mampu menghadirkan empati masyarakat (penonton) terhadap suatu budaya. Selanjutnya, masyarakat dengan beragam etnis dapat mengakui, menerima, dan menghargai berbagai perbedaan yang ada. Dengan demikian, ia meyakini akan tercipta manusia yang memiliki kesadaran untuk mampu bernegosiasi tentang realitas baru di luar budaya kelompoknya. (DW/ed:And)