Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Hukum BRIN kembali menyelenggarakan Legal Research Disscussion, Kamis (27/10) secara daring. Webinar Seri ke-7 ini mengangkat tema “Understanding the Essence of Dispute Resolution Through Alternative Dispute Resolution (ADR) Forums”. Diskusi ini bertujuan untuk menggali dan memahami pentingnya forum ADR yang dapat dipahami untuk diterapkan dalam setiap penyelesaian sengketa yang muncul di masyarakat.

Permasalahan atau sengketa biasanya banyak terjadi pada berbagai lini kegiatan ekonomi dan bisnis. Perbedaan pendapat, benturan kepentingan, hingga rasa takut dirugikan kerap menjadi sebab permasalahan atau sengketa tersebut terjadi. Penyelesaian sengketa bisnis kebanyakan dilaksanakan menggunakan cara litigasi atau penyelesaian sengketa melalui proses persidangan. Namun, di samping penyelesaian sengketa melalui proses litigasi, terdapat pula penyelesaian sengketa melalui non litigasi.

Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan konsep penyelesaian konflik atau sengketa di luar pengadilan secara kooperatif yang diarahkan pada suatu kesepakatan atau solusi terhadap suatu konflik atau sengketa yang bersifat win-win solution. ADR merupakan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang diselesaikan melalui prosedur kesepakatan oleh para pihak yang dilakukan di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. 

Mengutip pemikiran beberapa ahli, Peneliti Pusat Riset Hukum BRIN, Ismail Rumadan menegaskan bahwa ADR itu sebenarnya bukan sebagai alternatif penyelesaian sengketa, tetapi merupakan penyelesaian sengketa yang tepat. “ADR bukanlah alternatif dari sistem peradilan formal dalam arti bahwa ADR bukan forum alternatif pengganti forum peradilan,” tegas Ismail. Menurutnya, ADR bertujuan untuk melengkapi ruang lingkup prosedur pengadilan, sehingga para pihak dapat memilih di antara proses-proses ini.

Pertumbuhan penduduk dan ekspansi bisnis membuat perselisihan, baik yang terselesaikan maupun yang belum terselesaikan, menjadi lebih sering terjadi. Konflik-konflik baru tersebut terbukti sulit untuk diselesaikan karena kemunculannya bersamaan dengan kompleksitas dan karakter yang beragam sifatnya. Perselisihan muncul tidak hanya terjadi secara lokal, tetapi dapat muncul antara warga negara lokal dan warga negara asing yang terikat dalam suatu hubungan kepentingan.

Dalam dimensi hukum, konflik atau persengketaan terjadi dikarenakan para pihak merasa hak dan keadilannya tidak terpenuhi. Untuk itu, mereka berusaha menuntut hak dan mendapatkan keadilan, karena pada pihak yakin mereka memiliki hak, tetapi ternyata mereka tidak mendapatkannya. “Pemberian hak kepada salah satu pihak yang bukan berdasarkan fakta dan alasan yang benar, akan menimbulkan ketidakadilan dan kezaliman dalam masyarakat,” imbuh Ismail, sebagai pembicara pertama dalam webinar ini.

Sementara itu, pembicara kedua adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram, Muhammad Hayyan Ul Haq. Ia mengatakan bahwa ADR merupakan inti untuk melakukan perekatan atau memelihara keutuhan yang dapat menjamin keberlangsungan kehidupan bersama. Menurutnya, kita bisa melihat banyak penyelesaian-penyelesaian sengketa yang pernah ada, baik melalui penyelesaian sengketa litigasi maupun penyelesaian sengketa non litigasi atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 

Namun, menurutnya lagi, sesungguhnya penyelesaian sengketa yang berstandar pada alternatif ini harusnya bukan dimasukkan ke dalam kategori alternatif, tetapi hanya sekedar membedakan antara litigasi dan non litigasi. “Bahkan di dalam pandangan saya harusnya Indonesia memberdayakan kulturnya di dalam penyelesaian sengketa, terutama untuk melakukan atau memelihara keutuhan dan keberlangsungan kehidupan bersama,” imbuh Hayyan.

Dosen Fakultas Hukum UGM Herliana, sebagai pembicara ketiga mengatakan bahwa metode ADR ini sebenarnya tidak hanya untuk menyelesaikan sengketa bisnis saja. ADR ini juga bisa diterapkan dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup atau sengketa lainnya, namun Herliana lebih fokus terhadap persoalan sengketa bisnis saja. 

Dalam hal kemudahan berbisnis, Indonesia menempati peringkat 139 dari 190 negara. Pada setiap kontrak bisnis, di dalamnya pasti selalu ada klausul penyelesaian sengketa dan selalu itu dimulai dengan negosiasi dulu. Jika negosiasi tidak berhasil, maka baru naik ke tahap mediasi. Kalau mediasi juga tidak berhasil, baru naik ke konsiliasi atau ke arbitrase. “Jadi ADR ini sebenarnya menjadi metode penyelesaian sengketa yang utama,” ungkap Herliana. (arial)