Jakarta – Humas BRIN. Saat ini kita sudah memiliki banyak publikasi internasional yang sangat baik. Bisa jadi, ini dampak dari berbagai kewajiban publikasi yang tidak hanya di universitas ataupun lembaga riset, seperti BRIN, dimana semua peneliti wajib membuat publikasi internasional.
Hal tersebut disampaikan Kepala Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB) BRIN, Lilis Mulyani dalam sambutannya pada kegiatan webinar Forum Diskusi Budaya Seri 49 dengan tema “Wali Pitu and Muslim Pilgrimage in Bali, Indonesia: Inventing a Sacred Tradition” di Jakarta, Senin (28/11).
Lilis berpendapat bahwa impack dari kewajiban peneliti tersebut, maka ada banyak buku-buku yang berkualitas yang mulai diterbitkan secara internasional seperti buku Syaifudin Zuhri.
”Kita tentunya sangat ingin untuk mengetahui apa isi dari buku yang diterbitkan ini. Tentunya akan ada kumpulan pengetahuan yang berdasarkan hasil riset mendalam dan dilakukan secara rigeres dalam waktu atau periode yang cukup lama,” ungkap Lilis.
Lebih lanjut Lilis menegaskan, PRMB BRIN memang selalu menghadirkan diskusi-diskusi yang terkini seperti ini terkait berbagai isu-isu khususnya tentang sosial masyarakat dan kebudayaan. Isu tentang keagamaan juga menjadi fokus riset di PRMB yang memiliki kelompok riset tentang keagamaan dan masyarakat sipil. Diskusi-diskusi tentang publikasi terbaru akan menambah pada perspektif ataupun pengetahuan bagi peneliti di PRMB serta mitra-mitra yang hadir saat ini.
Persoalan identitas juga menjadi salah satu fokus riset di PRMB. Buku Syaifudin menjadi menarik karena bicara tentang identitas muslim di Bali. Diskusi ini bisa menampakkan dua agama besar di Indonesia yang direpresentasikan di pulau Bali. Di mana umat muslim di sana minoritas jika dibandingkan dengan umat Hindu yang ada di Bali.
Sementara Syaifudin Zuhri, Dosen atau Pengajar dari Universitas Islam Negeri (UIN Satu Tulungagung) dalam paparannya mengungkapkan, menulis buku bisa dikatakan adalah tradisi tentang ziarah di mana ia dibesarkan. Ia menulis buku dengan tema yang tidak banyak peneliti menulisnya. Kebanyakan penulis mengangkat tema yang sedang tren seperti radikalisme, salafi, dan toleransi beragama.
Syaifudin berkata, studi tentang peziarah masih tidak banyak. Jika ada pun, masih terkait tentang Jawa. ”Saya menulis ini, untuk menawarkan praktik ziarah di luar Jawa. Buku ini ditulis seperti pribadi saya sendiri, tentang tradisi ziarah yang saya alami,” ujarnya. Misalkan saja ziarah terkait wali songo, bagaimana sebuah tradisi lahir. Sesuatu yang baru akan menjadi hegemoni atau penting dan berpengaruh pada landscape keagamaan di Indonesia saat ini.
Walisongo dikenal menjadi sentral ketika berbicara islam kultural, yakni islam yang damai. Tetapi hal ini hanya sebuah proses saja yang kadang kita sering lupakan. Syaifudin mengaku, di dalam menulis buku bermaksud untuk merekam, karena ia khawatir, orang lupa apa yang dipraktikkan. Ini sesuatu yang momennya sangat kontemporer.
Untuk memahami ziarah tidak saja dari dimensi pengalaman orang melakukan ziarah atau praktik ritual. Ziarah merupakan sebuah proses perpindahan fisik, tentunya faktor agama atau motivasi agama, tempat yang berlebihan atau disebut suci. Proses perjalanan ini sangat berbeda pada ziarah dibandingkan perjalanan orang ke Bali sebagai turisme, di mana peziarah sebagian besar dari Jawa. Syaifudin berpendapat, Wali Pitu itu adalah sebuah konsep untuk menyebutkan tujuh orang atau lokasi yang kemudian menjadi peziarah masyarakat muslim. ”Makam-makam ini dianggap suci, dan tempat ini menjadi penting dan berhasil menarik banyak peziarah,” pungkasnya. (suhe/ ed: And)