Jakarta – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Agama dan Kepercayaan (PRAK) Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaira (OR IPSH) berkolaborasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dewan Masjid Indonesia, serta Kementerian Agama menyelenggarakan Webinar Seri ke-2 pada Rabu (21/06) secara daring. Adapun tema yang diangkat “Inovasi Pengelolaan Masjid MRA dan MPMB”.

Acara tersebut menghadirkan pembicara yaitu Kepala PRAK Aji Sofanudin, Kasubdit Kemasjidan Kementerian Agama RI Akmal Salim Runaha, Ketua PP Dewan Masjid Indonesia, Maria Ulfah Anshor, Peneliti PRAK Kustini, dan Plt. Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak Atas Kesehatan dan Pendidikan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Anggin Nuzula Rahma. Diskusi dipandu oleh Moderator, Siti Atieqoh.

Aji Sofanudin, dalam paparannya mengungkapkan, dalam sejarah ada 6 fungsi masjid. Fungsi itu di antaranya sebagai lembaga pendidikan, tempat pelatihan beladiri, serta balai pertemuan. Bahkan di zaman Nabi, masjid juga pernah menjadi tempat musyawarah berbagai lintas agama, sebagai rumah sakit korban-korban, juga tempat pentas seni untuk menghibur masyarakat. Ada juga masjid yang digunakan untuk tempat perkawinan dan acara hajatan lainnya.

Masih banyak fungsinya, masjid juga bisa untuk semacam laboratorium riset-riset dan tempat kampanye. ”Namun tidak pas jika dalam suasana menjelang pemilu ini masjid dijadikan sarana politisasi rumah ibadah. Tentu ini tidak baik dan tidak ideal,” tegas Aji. Menurut Aji, yang baik dan ideal adalah bagaimana masjid dan rumah ibadah itu sebagai pusat syiar agama dengan toleransi tinggi.

Masjid dirancang dan dikelola dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kenyamanan umat ataupun jemaat beragam. Lantas kemudian Kemenag mendorong setidaknya ada lima kategori masjid ramah. Kategori tersebut yaitu ramah keragaman, difabel dan lansia, lingkungan, anak, dan dhuafa.

Selanjutnya, Aji mengungkap data Simas Kemenag tahun 2023, terdapat 298.101 masjid dan 362.189 mushola dengan total 660.290. Ia juga merinci data menurut Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) ada sekitar 800 ribuan. Berbicara mengenai keberadaan masjid, Aji menjelaskan bahwa kondisinya tidak semua masjid punya ID nasional, yang tentunya harus bersyarat terdata dalam Simas sehingga harus didaftarkan. Menurutnya, masjid di Indonesia berbeda dengan masjid di Arab, Malaysia, maupun Brunei. ”Di sana, masjid milik pemerintah alias negara yang imamnya digaji, sementara masjid-masjid di Indonesia milik masyarakat yang berbeda cara pengelolaannya. Jika ditotal, hanya sekitar 5% masjid milik pemerintah sementara 95% milik masyarakat,” urainya.

Aji dalam hal ini menekankan, pembahasan kali ini terkait kebijakan pemerintah tentang Masjid Pelopor Moderasi Beragama (MPMB) untuk mewujudkan Masjid Profesional Moderat dan Berdaya. MPMB ini semacam pengelolaan secara profesional yang mampu memberdayakan masjid yang Makmur.

Ia menginformasikan inovasi penegelolaan masjid. Top Down Innovation Model menjadi regulasi yang dilaksanakan oleh takmir ataupun pengurus-pengurus. Bottom Up Inovation Model dengan melakukan berbagai inovasi untuk menarik jamaah supaya lebih rajin. Best Practice Pengelolaan Masjid, sebagai cara branding dengan melakukan studi banding ke beberapa masjid yang dianggap baik.

Selaras dengan Aji, Akmal Salim Ruhana juga membahas tentang ”Masjid Ramah”. Tema tersebut digulirkan dengan melihat dari sisi pola pikir seluruh ekosistem. Bagi Akmal, sarana dan prasarana masjid ramah mencakup lebih luas, meskipun ia berfokus pada pembahasan lima jenis masjid tadi. Secara spesifik, ia menekankan, bagaimana ekosistem masjid punya pandangan cara pemahaman hak untuk beraktivitas bagi mereka yang mempunyai kategori khusus tersebut. Seperti halnya memberikan segala fasilitas seperti toilet, tempat wudhu, ruang bermain, perpustakaan, dan sebagainya.

”Untuk kebutuhan tersebut, kami harus melakukan assesment dengan melakukan studi kebutuhan pelayanan fasilitas tersebut,” ungkapnya. Terhadap itu, ia mengaku pihaknya sudah melakukan upaya untuk usaha membangun pola pikir bersama memberikan akses terhadap kebutuhan tersebut. Contohnya, bagaimana menciptakan lingkungan yang mendukung dengan program Go Green, kebutuhan kursi roda, dan sebagainya.

Sementara, Maria Ulfa Ansor menyampaikan, masjid sebagai jati diri umat Islam, yang tidak hanya sebagai tempat ibadah, namun juga menjadi pusat pendidikan, pemberdayaan ekonomi dan sosial, dan sebagainya. Untuk itu perlu menciptakan ruang alternatif yang dikembangkan secara positif, inovatif, dan kreatif. Sehingga tercipta ruang yang aman dan nyaman. Fungsi masjid pada akhirnya menjadi luas manfaatnya sebagai sebuah ekosistem dari berbagai kegiatan, salah satunya bisa meningkatkan partisipasi penggunanya dalam melakukan berbagai kegiatan. Dengan ruang seperti demikian, hak-hak kebutuhannya terpenuhi dan terlindungi, tanpa diskriminasi.

Maka, Maria menyampaikan lima prinsip dasar pengelolaan masjid ramah. Ia menguraikan non diskriminasi pengelola masjid yang tidak membedakan suku, ras, agama, jenis kelamin, bahasa, status, dan sebagainya. Masjid menjadi ruang publik yang menghargai keberagaman. Termasuk, pemenuhan hak dan menjamin kelangsungan hidup. Hal yang penting, penghargaan pendapat dengan memberi kesempatan untuk mengekspresikan pandangan secara bebas.

Ia lalu memberi pandangan pengelolaan Madrasah Ramah Anak, yang dalam pembahasan ini disebut dengan MRA, di mana ada enam komponen kunci. Pertama adalah kebijakan masjid untuk menuju MRA menjadi bagian dalam mindset, SDM yang terlatih, konvensi hak anak, sarana dan prasarana yang ramah anak, kemudian pengembangan kreativitas seni dan budaya bagi anak, partisipasi anak, dan orang tua bahkan masyarakat dunia usaha yang menjadi bagian dari ekosistem dari masjid ramah anak.

Maria menyebutkan tiga tahapan pembentukan MRA, yaitu Mau, Mampu, dan Maju. Tahapan Mau membutuhkan adanya SK atau deklarasi bersama antara Pengurus Masjid, Dewan Masjid Indonesia (DMI), dan Pemda. Tahapan Mampu yaitu telah memenuhi enam komponen MRA tadi. Sedangkan tahapan Maju setidaknya bisa memberikan pengaruh pada masih di sekitarnya.

Kemudian Maria menjelaskan tentang strategi kultural engan memaksimalkan tradisi dan praktik budaya yang baik untuk anak sehingga dapat menguatkan alternatif terwujudnya karakter. Fungsi lainnya yaitu mengintegrasikan nilai kearifan lokal untuk penguatan masjid. Makna itu di antaranya berupa memasukkan nilai-nilai kemudian menggunakan bahasa lokal seperti pepatah, pantun, gambar, dan hal-hal lain. Ia menyontohkan permainan lokal yang diakomodasi dalam beberapa aktivitas anak seperti lompat – lompat, kelereng, dan lain-lain.

Strategi lainnya seperti pelibatan dalam perencanaan. Dalam hal ini, pemangku kepentingan dilibatkan sejak proses pengambilan keputusan, sampai dengan keterlibatan pada kegiatan – kegiatan seperti pelatihan, dan sebagainya. Harapannya adalah para pemangku kepentingan bisa menjadi kekuatan kunci dalam mewujudkan masjid ramah anak.

Hal lain, Kustini membahas judul “Best Practices Pengelolaan Masjid Ramah Anak”. Ia lantas memberi contoh beberapa masjid yang sudah menerapkan masjid ramah anak, di antaranya Masjid Asy Syuhada di Bontang dan masjid Al-Amanah di Jakarta. Masjid – masjid ini memiliki beberapa kelebihan. Untuk mewujudkannya, maka perlu mengembangkan jejaring dengan stakeholder termasuk beberapa pemangku kebijakan agar kegiatan atau pembentukan masjid ramah anak semakin banyak.  

Kustini menambahkan, untuk program ke depan perlu adanya monitoring dan evaluasi MRA, penelitian kolaboratif tentang MRA, mengembangkan jejaring dengan berbagai stakeholder, sosialisasi pedoman/ modul MRA, dan penyusunan buku profil MRA.

Terakhir, Anggin Nuzula Rahma memaparkan tema “Kebijakan Masjid Ramah Anak Mendukung Perindungan Anak Menuju Indonesia Layak Anak (IDOLA) 2030”. Terkait hal tersebut, ia mengatakan bahwa menjadi anak yang hebat tentunya tidak hanya pandai secara ilmu pengetahuan tapi juga pandai secara ilmu agama. Tujuannya untuk mewujudkan anak-anak yang berkualitas berakhlak mulia dan kesejahteraannya. Terkait hal ini, Anggin menyebutkan berbagai regulasi yang melindungi hak anak. Salah satunya, sudah 30 tahun Indonesia meratifikasi konferensi hak anak. Di dalamnya terdapat amanat bagi pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan regulasi terkait perlindungan anak yang pada saat itu adalah Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Terhadap itu, Anggin menyarankan adanya pembentukan sistem dan penyusunan program untuk masjid ramah anak. (Noor/ed: And)