Salah satu alasan mengapa rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun bisa bertahan adalah karena adanya sistem birokrasi yang kokoh ala militer dengan jenjang dan mata rantai komando. Sistem birokrasi ini bukan sekedar sebagai alat bantu dalam menyampaikan ide-ide pemerintah, melainkan juga sebagai alat kontrol sekaligus penundukkan pengetahuan masyarakat sampai tingkat yang paling bawah, yaitu keluarga.

Dalam konteks ini, kehadiran lembaga PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) yang pada mulanya merupakan akronim dari Pembinaan Kesejahteraan Keluarga mengambil peran tersebut. Selain mendomestifikasi peran perempuan di ranah keluarga sehingga dibatasi hanya mengurus rumah tangga dan urusan privat, kehadiran PKK era Orde Baru tampaknya dirancang sebagai pengganti dari Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) sebagai sayap dari PKI. Naiknya Orde Baru melalui peristiwa 1965-1966 melalui pembantaian, penangkapan, dan penghancuran perempuan-perempuan yang tergabung dalam Gerwani telah mengubah wajah dan gerakan perempuan di era Orde Baru, hanya sebagai konco wingking (teman di belakang). Kondisi ini, menurut Julia Suryakusuma (2011) menunjukkan bahwa PKK sudah menjadi salah satu alat penyebarluasan ideologi negara.

Penjelasan di atas merupakan konteks Orde Baru, bagaimana fungsi dan konteks PKK pasca Orde Baru? Apakah PKK masih memiliki fungsi signifikan di tengah-tengah euforia reformasi dan berubahnya struktur pemerintahan? Dengan melakukan tinjauan buku Suara dari Desa: Menuju Revitalisasi PKK, karya Ani W. Soetjipto dan Shelly Adelina (2013), Syarfina Mahya Nadila, biasa dipangil Fina, menjawab dua pertanyaan tersebut dalam seminar intern di ruang seminar PMB-LIPI, 8 Juli 2014. Menurut Fina, “Karena sudah terjadi perubahan rezim, Orde Baru menuju era demokratis, PKK tidak bisa lagi dilihat sebagai alat kontrol negara pada tingkat keluarga di level akar rumput, apalagi penyebarluasan ideologi negara. Sebagai struktur yang diwariskan rezim Orde Baru, PKK di beberapa daerah Jawa Tengah masih memiliki fungsi signifikan, seperti melindungi para korban kekerasan dalam rumah tangga, mengubah persepsi masyarakat tentang pernikahan dini, membantu menjaga kesehatan ibu dan bayi melalui posyandu”.

Sebenarnya, signifikansi PKK yang memiliki struktur kelembagaan dari tingkat nasional hingga desa dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan publik, khususnya pemberdayaan perempuan. Namun, kekurangpedulian pemerintah, baik nasional, provinsi, dan daerah dalam memaksimalkan peran, membuat PKK, sebagai lembaga berbasis perempuan, hanya sebagai perkumpulan ibu-ibu terbatas untuk melakukan arisan. Kerja-kerja mereka dalam melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat sekitar tidak pernah dianggap penting. Akibatnya, kehadiran PKK sebagai lembaga yang memiliki jangkauan hingga kepada keluarga di desa dan kampung ini, hanya sebagai formalitas saja. Hal ini tampak dengan adanya struktur yang kaku dan tidak demokratis dalam pemilihan ketua PKK dan tidak adanya insentif bagi kader-kader PKK yang aktif.
Melihat kondisi tersebut, Fina, dengan membahas beberapa hal penting dalam buku tersebut, mempertanyakan kembali fungsi dari PKK; “Apakah PKK kini masih layak untuk dipertahankan? Jika iya, apakah PKK mampu bertahan dengan sistem sekarang? Atau PKK harus mendefinisikan kembali peran serta fungsi dari PKK?” Pertanyaan reflektif yang diajukan Fina dalam diskusi seminar intern ini bukanlah permintaan untuk segera dijawab tetapi merupakan gugatan agar pemangku kebijakan memperhatikan isu perempuan dan potensi PKK sebagai ujung tombak pemberdayaan perempuan pada tingkat yang paling bawah, yaitu keluarga, perempuan, dan anak. (Wahyudi Akmaliah)