Bisnis.com, BENGKULU – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengkaji pembentukan enam desa adat di Pulau Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara.

Menurut Koordinator Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemasyarakatan LIPI Dedy Supriadi Adhuri, masyarakat adat Enggano masih menjalankan hukum adat untuk mengatur kehidupan sosial, budaya mereka sehingga pengakuan wilayah adat perlu didorong.

Ia mengatakan kajian pembentuan desa adat itu digelar bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu serta sejumlah lembaga yang berpengalaman. LIPI juga mengandeng peneliti Lembaga Karsa, Yando Zakaria yang terlibat dalam penyusunan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.

“Kewenangan masyarakat adat untuk mengatur tata hidup yang berlaku secara turun temurun diakui dalam konstitusi,” kata Yando di Bengkulu, Senin (25/5/2015).

Ia mengatakan ada tiga metode untuk menjadikan masyarakat adat berdaulat yang diakui oleh negara. Pertama, mendapatkan pengakuan dalam bentuk surat keputusan dari bupati atau gubernur. Kedua, menjalankan putusan Mendagri Nomor 52 tahun 2014, yakni kepala daerah mempunyai kewajiban untuk mengakui dan mendata masyarakat adat di wilayahnya. Dan ketiga, membentuk Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Adat atau membentuk Perda Desa Adat berdasarkan amanah UU desan termasuk putusan MK 35 Tahun 2012.

“Bila menjadi desa adat, bukan berarti hak kepemilikan individu diambil oleh adat, ini yang sering disalahartikan,” katanya. Ia menambahkan bahwa ada pula yang beranggapan saat ini pengajuan desa adat sudah tak dapat dilakukan karena telah lebih satu tahun sejak UU itu disahkan.

Pulau Enggano merupakan daratan seluas 40 ribu hektare yang dihuni lebih 2.800 jiwa. Mereka berdiam di enam desa yakni Kahyapu, Kaana, Malakoni, Meok, Apoho dan Banjarsari. Terdapat lima suku asli yang mendiami pulau tersebut yakni Suku Kaitora, Kaharubi, Kauno, Kaharuba, Kaahua dan bagi pendatang diberi nama Suku Kamai.

ยป Sumber : Bisnis.com, 25 Mei 2015