JAKARTA – Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2KK LIPI) mengadakan Seminar Intern pada tanggal 17 Maret 2015 dengan Pembicara Dr. Riwanto Tirtosudarmo. Pada seminar ini, Dr. Riwanto mengemukakan topik “Fukuoka Mosque: A Case of Minority Muslim Community in Japan”. Seminar diawali dengan penjelasan singkat Dr. Ahmad Nadjib Burhani selaku moderator mengenai isu kaum minoritas yang tidak hanya muncul di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lain, seperti Amerika, Perancis, dan Jepang. Kemudian, penyaji memaparkan perjalanan komunitas muslim di Fukuoka; dari awal berkembangnya komunitas ini sampai keberhasilan komunitas ini mendirikan sebuah masjid. Anggota Komunitas Muslim Fukuoka ini berasal dari berbagai negara, seperti Mesir, Uni Emirat Arab, Palestina, Pakistan, Banglades, Maroko, Indonesia, Jepang, Malaysia, Sri Lanka, and Komoro. Salah satu tokoh sentral dalam komunitas ini adalah Dr. Eko Fajar Nurprasetyo. Beliau adalah seorang insinyur dan pernah bekerja di perusahaan elektronik terkemuka di Jepang, Sony. Beliau juga kebetulan salah satu kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Seiring dengan semakin bertambahnya jumlah anggota, Dr. Eko dan anggota Komunitas Muslim Fukuoka lain berkeinginan mendirikan sebuah masjid. Masjid ini selain berfungsi sebagai tempat beribadah bersama juga berfungsi sebagai ruang publik untuk meneguhkan identitas kultur dan sosial Komunitas Muslim Fukuoka. Keberadaan masjid sebagai ruang publik itulah yang menjadi salah satu pertanyaan utama penyaji dalam seminar kali ini. Masjid yang pada dasarnya adalah tempat beribadah sudah bergeser fungsinya sebagai simbol identitas sebuah komunitas. Dari situlah muncul pertanyaan besar, “Bisakah agama dan politik dipisahkan?”
Seminar berjalan dinamis dengan munculnya banyak komentar, masukan, dan pertanyaan dari para peserta. Pertanyaan peserta terutama berkaitan dengan sejarah perkembangan komunitas muslim di Jepang secara umum serta tanggapan pemerintah dan masyarakat Jepang akan keberadaan komunitas muslim di lingkungan sekitar mereka. Pertanyaan mengenai sejarah perkembangan komunitas muslim di Jepang tersebut sempat diutarakan oleh Drs. M. Azzam Manan dan Sukri Abdurachman, S.H. Sementara, pertanyaan dan masukan mengenai tanggapan pemerintah dan masyarakat Jepang akan keberadaan komunitas muslim di Fukuoka disampaikan oleh Herman Hidayat, Tine Suartina, dan Wahyudi. Muncul juga masukan mengenai pertanyaan utama penyaji tentang pemisahan agama dan politik. Masukan ini disampaikan oleh Abdul Rachman Patji, ia terutama mengingatkan bahwa masalah pemisahan agama dan politik tersebut berhubungan erat dengan pemerintah dan peneliti diharapkan tidak memasuki area politik pemerintah tersebut. Dr. Riwanto menyampaikan sanggahan terhadap pernyataan tersebut. Menurut beliau, peneliti boleh saja mempertanyakan masalah pemisahan agama dan politik. Namun, pertanyaan peneliti tersebut tentu saja harus dalam area keilmuan, bukan dalam area politik pemerintahan. Berkaitan dengan masalah pemisahan agama dan politik tersebut, timbul perdebatan seru mengenai ada atau tidaknya peran PKS terhadap perkembangan Komunitas Muslim Fukuoka. Sudiyono dan Sukri Abdurachman sempat mempertanyakan sejarah peran PKS terhadap perkembangan komunitas muslim di Fukuoka serta membandingkan PKS sebagai partai besar di Indonesia dengan PKS yang muncul di Fukuoka. (Anggy Denok Sukmawati)