Pasca reformasi, gerakan buruh yang besar belum menjadi kekuatan yang diperhitungkan dalam ranah politik maupun oleh pengambil kebijakan. Gerakan buruh masih dihadapkan pada problem krusial dari sisi eksternal maupun internal. Secara eksternal, relasi antara buruh, pemerintah dan pengusaha belum harmonis. Sementara di sisi internal, kualitas sumber daya manusia (SDM) kurang memadai, eksklusifisme dan konflik kepentingan antar pengurus serikat pekerja/serikat buruh menjadi persoalan tersendiri. Persoalan, gagasan dan pengkajian tentang gerakan buruh akan dibahas dalam Seminar bertajuk “Peluang dan Tantangan Gerakan Buruh Indonesia Pasca Reformasi”.
Jakarta, 23 April 2012. Tanggal 1 Mei 2012 ini menggenapkan 14 tahun perjalanan reformasi yang membawa dampak besar terhadap perjalanan bangsa, tak terkecuali gerakan buruh di Indonesia. Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Dr. Lukman Hakim mengatakan, kebebasan berserikat kaum buruh dimulai ketika mantan Presiden BJ Habibie meratifikasi Konvensi The International Labour Organization (ILO) Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat. Langkah tersebut dilanjutkan mantan Presiden Abdurrahman Wahid dengan menetapkan Undang-Undang (UU) No. 2 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Menurutnya, banyak kalangan menilai bahwa percapaian gerakan buruh pasca reformasi tidak sehebat kebebasan yang diraih. “Konflik hubungan industrial / perburuhan cenderung meningkat,” imbuhnya. Ia melanjutkan, kondisi terakhir yang terjadi adalah demonstrasi buruh melumpuhkan jalan Tol Cikarang beberapa waktu lalu di wilayah Bekasi. “Bahkan, demonstrasi tersebut mengundang respon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rapat terbatas di Istana dan menginstruksikan agar mengantisipasi setiap persoalan buruh,” tandasnya.
Ia menuturkan, persoalan upah dan kesejahteraan buruh yang rendah menjadi pemicu utama konflik. Pada tataran lain, faktor penyebabnya bersifat kontributif (underlying) yakni pola hubungan industrial atau bipartit antara buruh dengan pengusaha kurang berjalan dengan baik. “Lebih luas lagi, penyebab mendasar konflik perburuhan ialah kebijakan dan peraturan perundangan terutama UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan cenderung berpotensi memunculkan konflik,” paparnya. Sejak diundangkan, hingga saat ini masih menuai kontroversi. Kajian P2K-LIPI tahun 2010 menunjukkan bahwa UU tersebut mengandung berbagai kelemahan substansi maupun implementasi termasuk lemahnya penegakan hukum (law inforcement).
Berangkat dari latar belakang tersebut, Pusat Penelitian Kependudukan LIPI akan menyelenggarakan Seminar yang berlangsung pada Selasa, 24 April 2012 mulai pukul 09.00 WIB di Widya Graha LIPI Lantai 1, Jl. Gatot Subroto 10 Jakarta. Para pembicara seminar, antara lain Mr. Peter Van Rooij (Directur ILO Office Jakarta), R. Irianto Simbolon, SE, MM (Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi), Dr. Hari Nugroho (Lab Sosio Universitas Indonesia), Rekson Silaban (Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI)), Surya Tjandra (Trade Union Rights Centre (TURC)), Said Iqbal (Presiden Dewan Eksekutif Nasional Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI)) dan Nawawi (Peneliti P2K-LIPI).
Keterangan Lebih Lanjut:
– Dra. Titik Handayani M.S. (Peneliti P2 Kependudukan LIPI, hp. 0811 933 0334)