Lahirnya masalah gender bermula dari kesadaran masyarakat untuk memahami dan menuntut hak-hak pribadi atau hak personal yang dirasakan telah dirampas dari pemiliknya (Hidayat, 1999). Masalah ketimpangan gender ini tidak hanya tampak pada sektor publik tetapi juga pada sektor domestik. Hal ini diakibatkan karena adanya stigma dari masyarakat di mana terdapat pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan. Tugas laki-laki lebih mengarah kepada sektor publik sedangkan perempuan hanya boleh mengurusi sektor domestik saja dan harus bergantung pada suami. Dalam realitas kehidupan masyarakat perbedaan peran laki-laki dan perempuan dianggap suatu hal yang wajar-wajar saja dan dianggap bukanlah suatu masalah. Namun demikian, Hamim (2005) melihat kebanyakan suami telah menjadi “raja kecil” yang berkuasa dalam keluarga. Hal ini tampak dengan banyak suami yang mendominasi istrinya dan menguasainya sehingga tidak ada peluang bagi istri untuk memenuhi kebutuhan dasariahnya sendiri di luar melayani “tuannya”. Menurut Hamim (2005), hubungan yang terlihat harmonis ini amat semu dan membuat rumah tangga menjadi tidak adil terutama bagi istri.

 

 

 

Dengan adanya kontrol patriarkal yang membudaya di negeri ini, membangkitkan semangat kaum perempuan untuk mengembangkan dirinya dan semakin banyak program pemerintah baik nasional maupun internasional yang mengadakan pemberdayaan gender. Dalam pemberdayaan gender, tidak hanya dilakukan pemberdayaan perempuan saja melainkan juga adanya pemberdayaan laki-laki. Maka dari itu, laki-laki juga mempunyai peran yang besar dalam pemberdayaan gender khususnya terhadap perubahan cara pandang budaya patriarki, keterlibatan laki-laki harus dimulai dari kesediaan serta keikhlasan laki-laki untuk mengubah cara pandang serta budaya yang hormat pada harkat dan martabat manusia, utamanya perempuan.

 

Penelitian ini mengkaji tentang peran laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami istri dalam pengambilan keputusan rumah tangga yang dilakukan di Kelurahan Cilacap dan Kelurahan Tegalreja, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah. Kecamatan Cilacap Selatan dipilih sebagai daerah penelitian karena daerah tersebut memiliki angka perceraian paling tinggi diatara eks kotip Cilacap lainnya yaitu terdapat 63 kasus perceraian pada tahun 2010. Perceraian merupakan salah satu indikator dari tidak harmonisnya sebuah keluarga. Hal ini dapat diasumsikan dengan mengetahui siapa yang mendominasi dalam mengambil keputusan rumah tangga.

 

 

 

Banyak penelitian yang mengungkap kesetaraan gender dari pihak perempuan. Hal itu ditujukan agar para perempuan bangkit dan tidak lemah terhadap laki-laki padahal pemberdayaan gender tidak hanya ditujukan untuk para perempuan saja tetapi juga oleh laki-laki. Melihat pandangan tersebut, penelitian ini akan mengungkap kesetaraan gender dalam bidang pengambilan keputusan rumah tangga.

 

 

 

Penduduk laki-laki status kawin mempunyai peran terbesar dalam penelitian ini karena laki-laki khususnya yang telah menikah biasanya sangat berperan dalam memahami dan mengerti perempuan sehingga laki-laki dapat berperan banyak dalam pemberdayaan gender. Di samping itu peneliti ingin mengetahui besarnya kesetaraan dan keadilan dalam pengambilan keputusan rumah tangga di Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap.

 

 

 

Pembentukan norma gender tidak terlepas dari sosial budaya masyarakat setempat. Pengajaran mengenai norma gender pun telah diajarkan sejak kecil tanpa disadari oleh masyarakat sehingga sangat sulit untuk mengubah kebiasaan pembagian peran menurut jenis kelamin tersebut. Pembagian peran dalam rumah tangga maupun masyarakat dibentuk setelah adanya perbedaan dalam pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Berdasarkan hal itulah konstruksi gender mulai terbentuk.

 

 

 

Salah satu fenomena sosial yang sering terjadi adalah perceraian sebagai akibat ketidakharmonisan rumah tangga. Perceraian dapat dicegah melalui pola pengambilan keputusan rumah tangga. Seperti halnya pepatah dalam bidang kesehatan yang mengatakan bahwa “pencegahan itu lebih baik daripada pengobatan”. Maka dari itu, pepatah tersebut dapat juga diaplikasikan dalam studi gender. Ibarat perceraian adalah penyakit, pola pengambilan keputusan adalah pencegahan, serta rujuk adalah pengobatan.

 

 

 

Kajian dari penelitian ini hanya meliputi faktor dan pola pengambilan keputusan rumah tangga. Lingkaran kekerasan yang telah dikemukakan sebelumnya hanya melihat permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga dan berusaha mencari akar permasalahan yang berupa pola pengambilan keputusan rumah tangga. Pola pengambilan keputusan rumah tangga dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor tersebut diadaptasi dari faktor yang mempengaruhi peran perempuan dalam pengambilan keputusan rumah dengan menggabungkan teori Sajogyo dan Singarimbun.

 

 

 

Pengambilan keputusan merupakan perwujudan proses yang terjadi dalam keluarga dan merupakan hasil interaksi antara peran anggota keluarga untuk saling mempengaruhi (Scanzoni dan Scanzoni dalam Lestari, 1990). Dengan mengetahui pola pengambilan keputusan rumah tangga, dapat diketahui pula ada tidaknya dominasi di dalam suatu rumah tangga.

 

 

 

Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Cilacap Selatan yang meliputi dua wilayah penelitian yaitu Kelurahan Cilacap dan Kelurahan Tegalreja ini dilakukan dengan merujuk pada penelitian peranan wanita dalam pengambilan keputusan rumah tangga oleh Sajogyo (1983) di dua desa di Jawa Barat, Singarimbun (1996) melalui data sekunder, serta Estelita (1999) di Minangkabau. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini mengkaji peran suami dan istri dalam pengambilan keputusan rumah tangga melalui kegiatan wawancara yang dilakukan terhadap responden suami dan responden istri dalam karakteristik wilayah yang berbeda. Perbedaan karakteristik wilayah ini menunjukkan penggunaan pendekatan keruangan dalam geografi. Hal itu sejalan dengan Fakih (1996) yang menyatakan bahwa perubahan ciri dan sifat yang terkait dengan gender dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain. Selain itu, ketika melihat gender dari sudut pandang geografi, Mc Dowell (1989) melihat ada pembatasan ruang gerak perempuan daripada laki-laki. Dengan demikian, hal-hal yang dikaji dalam penelitian ini meliputi: 1) kajian perbandingan cara pandang suami dan istri dalam pengambilan keputusan rumah tangga, 2) kajian perbandingan cara pandang suami ditinjau dari daerah, serta 3) kajian perbandingan cara pandang istri ditinjau dari daerah.

 

 

 

Sebagian besar hasil dari penelitian ini menunjukkan kesamaan cara pandang suami dan istri dalam pengambilan keputusan rumah tangga. Pengambilan keputusan rumah tangga dalam bidang sumber nafkah suami dan istri di Kelurahan Cilacap masih didominasi oleh suami. Di Kelurahan Tegalreja, sumber nafkah suami diputuskan hanya oleh suami sedangkan sumber nafkah istri diputuskan secara bersama-sama tanpa dominasi. Jadi suami di Kelurahan Tegalreja memberikan kebebasan kepada para istri untuk bekerja di ruang publik. Pengambilan keputusan rumah tangga dalam bidang pengeluaran kebutuhan pokok dan pembentukan keluarga di Kelurahan Cilacap didominasi oleh istri sedangkan di Kelurahan Tegalreja, keputusan dua bidang tersebut dilakukan secara bersama-sama tanpa dominasi. Pengambilan keputusan rumah tangga dalam keikutsertaan kegiatan sosial dalam masyarakat dilakukan secara bersama-sama tanpa dominasi di kedua daerah penelitian.

 

 

 

Selain itu hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan antara responden di Kelurahan Cilacap dengan Kelurahan Tegalreja. Secara umum, di Kelurahan Cilacap dengan responden suami yang bekerja sebagai nelayan, pengambilan keputusan rumah tangga banyak yang dilakukan oleh istri sendiri. Hal ini dikarenakan suami mereka sering berada di laut sehingga jarang ada di rumah. Pembagian peran dalam rumah tangga nelayan sangat terlihat bahwa suami bekerja di luar rumah (publik) sedangkan istri hanya sebagai ibu rumah tangga (domestik). Berbeda dengan responden di Kelurahan Tegalreja, sebagian besar pengambilan keputusan rumah tangga dilakukan secara bersama-sama tanpa adanya dominasi dari salah satu pihak. Dengan demikian, hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan sifat gender mengenai peran suami dan istri dalam pengambilan keputusan rumah tangga dari tempat ke tempat lain,

 

 

 

Dalam menganalisis pengambilan keputusan rumah tangga tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Korelasi Product Moment Pearson dijadikan alat untuk melihat hubungan antar variabel. Korelasi ini dipakai karena berkaitan dengan tujuan untuk mengetahui besarnya hubungan serta skala data yang digunakan adalah interval. Ada delapan faktor yang dilakukan uji hubungan yaitu pendidikan suami, pendidikan istri, pendapatan rumah tangga, kekayaan suami yang dibawa untuk berumah tangga, kekayaan istri yang dibawa untuk berumah tangga, usia kawin pertama suami, usia kawin pertama istri, dan selisih umur suami dengan istri.

 

 

 

Dari hasil pengujian di lapangan yaitu di Kelurahan Cilacap dan Kelurahan Tegalreja, didapatkan hasil bahwa hanya ada tiga faktor yang sesuai dengan hipotesis yaitu pendidikan suami, pendidikan istri, dan selisih umur suami dengan istri. Faktor pendidikan suami dan istri memiliki hubungan positif dengan pengambilan keputusan rumah tangga. Hal ini berarti semakin tinggi pendidikan suami dan istri maka semakin tinggi pula kesetaraan dalam pengambilan keputusan yang ditandai dengan tidak adanya dominasi dari satu pihak. Selisih umur suami dengan istri mempunyai hubungan yang negatif dengan pengambilan keputusan rumah tangga, artinya semakin jauh selisih umur suami dengan istri maka semakin rendah kesetaraan dalam pengambilan keputusan, dalam arti lain semakin tingginya dominasi dari salah satu pihak. Akan tetapi lima variabel lainnya, yang meliputi pendapatan rumah tangga, usia kawin pertama suami, usia kawin pertama istri, kekayaan suami yang dibawa untuk berumah tangga, dan kekayaan istri yang dibawa untuk berumah tangga tidak sesuai dengan hipotesis dan tidak memiliki hubungan yang nyata dengan pengambilan keputusan rumah tangga.