Jaleswari Pramodhawardani Pengamat militer Yang diminati

Jaleswari Pramodhawardani (48) atau akrab disapa Dani ini bekerja di Puslit Kemasyarakatan & Kebudayaan LIPI (PMBJ-LIPI). Tiap ada peristiwa kecelakaan pesawat, ibu dua anak ini menjadi sasaran media untuk dimintai komentarnya sebagai pengamat militer. “Padahal ada, kok, perempuan lain yang juga bisa dimintai komentar. Tapi media maunya saya yang bicara,” tutur Dani di kantornya.

Dunia militer memang dekat dengan Dani sebab sang ayah merupakan anggota TNI Angkatan Laut. Bahkan, latar belakang keluarga Dani 90 persen tentara. “Sosok Ayah sangat disiplin dan tegas, tapi saya tak pernah sekalipun dimarahi Ayah. Justru yang marah Mama. Sosok militeristik tak ada di rumah. Entah, ya, kalau Papa berhadapan dengan pasukan. Justru yang terlihat sisi kemandirian, ketegasan, dan disiplin beliau.”

Berkat sang ayah pula, Dani sejak kecil senang menari dan membaca novel sejarah. “Beliau selalu punya filosofi tentang apa yang dianjurkannya. Misalnya, saya dan dua adik diminta menari Jawa. Kata beliau, tarian Jawa akan menghaluskan dan melembutkan jiwa saya. Gerakan yang demikian lambat adalah olah raga dan olah rasa,” kenang Dani yang sangat mengagumi sang ayah.

Benar saja, setelah dewasa Dani mudah tersentuh terhadap hal-hal yang menggugah kepekaannya. “Orangtua selalu bilang, janganlah menyakiti orang lain tapi bergunalah buat orang lain,” papar Dani yang sempat diterima di Institut Pertanian Bogor. “Tapi saya tak suka kuliah di sana. Karena saya senang berhubungan dengan manusia, saya pilih kuliah FISIP di Universitas 17 Agustus Jakarta. Ternyata setelah dijalani saya suka bidang ini.”

Semasa kuliah Dani punya cita-cita ingin jadi wartawan atau peneliti. Suatu saat Dani mewakili kampus mengikuti temu karya ilmiah remaja nasional tahun 1986 yang diadakan LIPI. “Syaratnya, saya harus mengajukan penelitian.” Lantas apa yang Dani teliti? “Semasa kuliah saya naik bus, saya lihat banyak penjual koran di jalan. Akhirnya, saya teliti seorang remaja penjual koran di lampu merah. Bukan hanya bicara soal kemiskinan tapi juga keamanan. Sejak itu saya suka bidang ini. Apa yang saya inginkan terjawab, jadi peneliti.”

Lulus kuliah, Dani melamar ke LIPI tahun 1989 dan mulai melakukan penelitian soal kemiskinan dan remaja. “Sedangkan kajian militer lebih ke working group , seperti penataan penganggaran TNI atau membahas RUU TNI,” kata Dani yang pada 1999 bersama para peneliti muda LIPI sempat membuat workshop di 5 kota besar di Indonesia dengan tema “Hegemoni Militerisme terhadap Kesadaran Sipil”.

Reformasi sektor keamanan jadi kajian utamanya sebagai peneliti LIPI yang dilanjutkannya bersama tim peneliti The Indonesian Institute. “Sejak itu saya banyak menulis dan diskusi publik, bersanding dengan pengamat lain yang memiliki jam terbang tinggi,” papar Dani.

Oleh karena pasca reformasi negara sempat kacau, “Saya tertarik melihat perempuan yang jadi korban dari sebuah pertikaian politik. Saya pun membuat kajian itu untuk membuka perspektif baru. Setelah belajar peran perempuan di negara lain dan negara sendiri, perspektif saya makin dibukakan. Meski secara jumlah perempuan itu banyak, tapi suaranya tidak terwakilkan.”

Di The Indonesian Institute, kajian Dani lebih ke soal militer. Ketika berbicara soal milter yang kebanyakan laki-laki, Dani sadar dan berpikir agar bisa duduk setara dengan mereka. “Satu-satunya cara, memiliki pengetahuan yang sama dengan mereka. Perbedaan tak akan terlihat setelah saya juga tahu persoalan yang dibahas. Pengetahuan militer bisa diketahui dengan membaca, mendengarkan, dan melihat. Saya pun disambut baik, meski ada juga yang bertanya-tanya, ini perempuan mau bicara apa, sih? Ha ha ha.”

Memang tak mudah mengkritik sebuah lembaga besar dan penting semacam TNI. “Butuh kesabaran, pengetahuan, pemahaman, dan kerjasama dari berbagai pihak. Tapi saya cinta pekerjaan ini, selalu bersemangat pada pilihan kajian perempuan dan pertahanan. Saya ingin dua anak perempuan saya juga hidup dalam suasana demokratif, berkeadaban, menghormati hak-hak, dan ada penghargaan terhadap perempuan.”

Sering tampilnya Dani di banyak media, menurutnya, sama dengan pemahaman bahwa gagasan dan pemikirannya kian tersosialisasikan. “Yang penting, kan, bukan seberapa banyak saya tampil di teve. Saya bukan selebriti. Sebagai pengamat militer, publik juga enggak terlalu kenal saya, kok. Saya merasa tidak populer,” papar Dani merendah.

Kendati kerap merasa lelah bicara di mana-mana, Dani mengaku selalu bersemangat. “Jangan-jangan, apa yang saya bicarakan memang penting. Dan sebagai perempuan, saya punya cara pandang berbeda, meski ada perempuan lain yang bisa bicara jauh lebih baik dari saya.” Menurut Dani, “Banyak orang lebih serius belajar soal pertahanan dalam bentuk kajian. Sementara saya lebih otodidak. Kadang, orang memang mau tahu latar belakang sekolah saya. Maka, saya berupaya lebih untuk menunjukkan agar tak terlalu buruk dalam memberi pendapat.”

Walaupun milter sangat maskulin, katanya, “Ketika ada perempuan yang bicara soal ini, jadinya orang ingin melihat dan selalu mendengarkan. Perempuan memang harus mewarnai wacana soal ini. Perspektif perempuan sangat dibutuhkan. Kadang orang berpikir, masalah pertahanan dominasi laki-laki, padahal tidak, ” tandas Dani.

Sumber : Tabloid NOVA – Kamis, 11 April 2013