SERANG, (KB).-Pemeliharaan Kawasan Cagar Budaya Banten Lama sekarang ini, terbengkalai. Kondisi itu diakibatkan banyaknya stakeholder atau kepentingan. Selain itu, pemerintah daerah belum memiliki regulasi yang efektif.Hal itu terungkap dari hasil penelitian sementara yang dilakukan Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Kawasan Banten Lama.
Dari penelitian yang dilakukan Herry Yogaswara dan Tine Suartina sejak 2012 terungkap, beberapa bagian cagar budaya Banten Lama dalam kondisi yang memprihatinkan. Dalam makalahnya, Herry menulis bahwa kondisi situs-situ yang dianggap sebagai pusat kawasan justru sangat memprihatinkan. Situs-situs tersebut antara lain, Kawasan Masjid Agung Banten Lama, Istana Kaibon, Benteng Speelwijk dan beberapa situs lain.
“Sejak 1990 hingga kini, belum ada peraturan daerah yang menyentuh langsung serta efektif, baik dari segi penyusunan maupun implementasi. Hal ini juga termasuk salah satu penyumbang kompleksitas dalam pengelolaan Banten Lama. Ditambah lagi, adanya konflik internal masyarakat eks kebalen,” kata Herry.Sementara, Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Yunus Satrio Atmojo menuding adanya sebuah kelompok sosial, yang juga menjadi penyebab tidak selesainya permasalahan Banten Lama.
“Masalah Banten Lama ini adalah masalah sosial antartokoh. Jadi, tidak akan selesai kalau pendekatannya melalui hukum dan perundang-undangan. Buktinya, selama 30 tahun belum ada perubahan. Masalah ini hanya akan selesai dengan dialog,” ujar Yunus.
Hal senada diungkapkan pakar Bantenologi Mufti Ali. Menurut Mufti, yang bisa menyelesaikan masalah Banten Lama adalah tokoh kharismatik, yang biasanya tumbuh dari tokoh tarekat.Sebelumnya, PMB LIPImenggelar workshop tentang pengelolaan cagar budaya di Indonesia di ruang pertemuan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Serang.
Pada acara workshop kali ini, kawasan situs purbakala Banten Lama kembali menjadi topik pembicaraan para peneliti. Menurut Riwanto Tirtosudarmo, koordinator penelitian, lembaganya bukan hanya meneliti Banten Lama, tetapi juga kawasan Situs Trowulan dan Borobudur. Ternyata ketiga situs purbakala ini memiliki problem yang serupa, yaitu kesulitan menghadapi para pedagang dan penduduk sekitar.
Dihadapan udangan yang terdiri atas akademisi, arkeolog, LSM Banten Heritage, Bantenologi IAIN SMHB, dosen Untirta dan dosen Unsera, tampil tiga nara sumber yang masing-masing bicara masalah Trowulan, Borobudur dan Banten Lama. Mereka adalah Sugih Biantoro, Dedi S Adhuri dan Herry Yogaswara. Sebagai pembuka diskusi dalam workshop tampil pula Yunus Asmodjo, arkeolog senior UI.
Pada akhir acara seluruh nara sumber dan seluruh udangan dari berbagai disiplin ilmu sepakat untuk melanjutkan pertemuan lagi dalam beberapa hari mendatang. (Vanny-Job/H-06)***
Sumber : www..kabar-banten.com/Wednesday, 01 May 2013 | 14:32:54 WIB