Mojokerto, Pengelolaan situs Majapahit, hingga kini masih belum bisa maksimal. Proses pengrusakan yang kerap terjadi, tak mampu diproses secara hukum. Pasalnya, pemerintah sendiri belum memiliki aturan yang jelas terhadap pengertian cagar budaya.

Hal ini iungkapkan Anam Anis dalam salah satu narasumber dalam diskusi bertajuk “Pengelolaan Cagar Budaya di Indonesia” di Museum Trowulan, Kabupaten Mojokerto, kemaren siang. Menurutnya, penyebutan cagar budaya harus ditetapkan oleh presiden langsung. “Tidak ada aturan sama sekali. Kita tidak bisa berbuat banyak saat terjadi pengrusakan situs”, tandasnya.

Dia menyebut, sebenarnya angin segar sudah pernah berhembus ketika Dirjen Kebudayaan Kacung Maridjan menghadiri saat puncak peringatan World Heritage Day April lalu. Dia mengungkap jika lembaganya engah merampungkan Rancangan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pelestarian dan Pendaftaran Kebudayaan. “Tapi, situs yang ada saat ini, harus didaftar dulu dan kemudian ditetapkan oleh presiden sebagai cagar budaya”, jelas Anam Anis.

Jika tidak demikian, maka situs Majapahit yang ada saat ini akan sangat mudah dimanfaatkan oleh kepentingan segelintir orang. “Dan saat ini, semua situs yang ada saat ini, tidak ada yang mendapat piagam itu dari presiden. Artinya, kita masih terganjal aturan”, tambahnya.

Kebutuhan aturan itu juga diungkapkan Prof. Dr. Munfardjito, dosen Universitas Indonesia (UI) Jakarta yang berkeinginan agar ada regulasi yang jelas dalam menata situs Majapahit. “Sudah saya ungkapkan beberapa kali. Ini sangat penting”, tuturnya singkat.

Sementara itu, dalam pertemuan kemarin, juga hadir Dr. Riwanto Tirtosudarmo, seorang peneliti asal Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI).

Baginya, tak cuma aturan saja yang harus mengikat semua elemen dalam pengembangan cagar budaya. Namun, membutuhkan dukungan dari masyarakat sekitar sebagai pemangku budaya lokal.

 

Sumber : Koran Radar Mojokerto – Kamis, 6 Juni 2013