Pada 31 Juli 2013, PMB-LIPI mengadakan seminar intern yang mengangkat dua tema. Tema yang pertama adalah From Settlers to Sojourners: Mudik as A Permanent State of Being In Indonesia. Sedangkan tema yang kedua adalah Beauty as Ugliness: The Subversive Female Body of The Southeast Asian City. Kedua tema ini dipresentasikan oleh Robbie Peters, peneliti sekaligus Direktur Program Pasca-sarjana Studi Pembangunan University Of Sydney.
Kedua tema ini diangkat Robbie Peters karena ia tertarik melihat fenomena tersebut ketika sedang melakukan penelitian di Surabaya. Ia mencermati bahwa perempuan di Indonesia sangat terbebani dengan isu kecantikan terutama dalam konteks pekerjaan. Kecenderungan perubahan industri belakangan yang mengarah pada sektor jasa memberikan tuntutan pada perempuan untuk cantik. Masalah kecantikan ini bahkan muncul dalam persyaratan rekrutmen pegawai. Lebih lanjut, tampilan tersebut menjadi kontras dengan kondisi ekonomi mereka yang harus tinggal di rumah kos yang kumuh.
Di kota ini juga, Peters tertarik dengan mobilitas manusia yang berkaitan dengan tata kelola pemerintahan. Fenomena tersebut ia lihat dari peristiwa mudik yang dilakukan di Indonesia setiap Ramadhan. Menurut Peters, “Menggunakan kata James Scott, bulan ini seperti sinopsis dari kehidupan manusia. Pemerintah mengeluarkan statistik-statistik yang berkaitan erat dengan fenomena mudik di Bulan Ramadhan.” Ia mencermati bahwa fenomena mudik bukanlah fenomena sosial budaya yang baru. Sebaliknya, fenomena ini berkaitan erat dengan peristiwa petrus di masa lalu. Periode tersebut ia runut sebagai awal obsesi pemerintah untuk berkepentingan mengelola orang-orang yang berpindah. Tentu saja hal ini sangat terkait dengan isu kriminalitas dan keamanan.
Pada kesempatan yang sama, Robbie Peters juga membahas konsep flanneurs (orang-orang yang kehilangan akar). Menurut Peters, perspektif yang banyak dikembangkan oleh Cornell School tersebut sampai hari ini masih cukup dominan dipakai membaca masalah kota dengan penggunaan konsep melting region. Sayangnya, dalam hemat Peters penggunaan perspektif semacam itu sudah tidak lagi tepat dalam membaca fenomena kota terkini. Peters mengakui bahwa di kota memang terdapat orang yang kehilangan akarnya, namun pada saat yang sama masih ada pengikat sosial dan kultural yang kuat di Indonesia. Dalam pandangannya, pengikat paling utama dalam masyarakat kota adalah peristiwa kematian. Berbeda dengan di Barat, orang-orang Indonesia masih berkumpul dan menjalankan tradisi kematian.
Dedi Adhuri sebagai moderator juga melakukan pembacaan atas presentasi tersebut. Menurutnya, Peters memberikan beberapa pembacaan yang cukup menarik terhadap dua fenomena yang diangkat. Dedi misalnya, cenderung melihat mudik sebagai bentuk tradisi semata. Sebaliknya, Robbie Peters mampu menggunakan bingkai tata kelola pemerintahan dalam membaca peristiwa ini. Perspektif yang menarik tersebut membuat penelitian ini sangat layak untuk diteruskan.
Pada sesi tanya jawab, Riwanto Tirtosudarmo mempertanyakan asumsi yang dikembangkan oleh Robbie Peters. Menurut Riwanto, asumsi Robbie Peters bahwa flanneurs (orang-orang yang kehilangan akar) tidak relevan digunakan dalam membaca fenomena kota saat ini masih bisa dipertanyakan. Sebab dalam fenomena kontemporer perkotaan, kecenderungan flanneurs masih menguat. Peters mengakui bahwa pembacaan tersebut mungkin tidak relevan ia gunakan di Jakarta. Sebab asumsi awal riset ini ia dapatkan dari pengalamannya di Surabaya dengan latar etnis yang berbeda.
Pada sesi ini juga, Saiful Hakam bertanya mengenai fenomena jasa pemakaman untuk keluarga kota yang tinggal di perumahan. Menurutnya, ini adalah bentuk evolusi keluarga yang menyerupai fenomena di Barat. Untuk beberapa keluarga, pemakaman berubah menjadi jasa pelayanan dan tidak lagi tradisi seperti yang dilakukan masyarakat tradisional. Robbie Peters sepakat dengan perspektif itu, bahwa tendensi pengelolaan kematian ini menyerupai fenomena yang terjadi di Barat. Selain itu juga ada beberapa pertanyaan lanjutan yang menambah perspektif Peters dalam riset yang masih berlangsung ini. (Ibnu Nadzir)