Makanan di Indonesia bukan hanya menunjukkan keanekaragaman kuliner, melainkan juga keragamaan etnik terkait dengan asal makanan tersebut. Asal muasal makanan ini juga memiliki jejak sejarah yang panjang, baik pada level personal maupun kolektif. Selain itu, makanan, khususnya lauk pauk yang dijual, menunjukkan identitas dan ikatan etnik tertentu terkait dengan tempat mereka berasal. Misalnya, Rumah Makan Padang, Sate Ayam Madura, Gudeg Yogya, dan Warung Tegal. Meskipun demikian, seringkali orang yang berjualan makanan tidak berasal dari wilayah atau etnik yang identik dengan makanan tersebut. Di sisi lain, terdapat beberapa jenis makanan yang seolah tidak identik dengan etnik tertentu namun penjualannya didominasi kelompok etnik tertentu. Salah satu contohnya, adalah, warung Burjo (Bubur Kang Ijo) yang sebagian besar penjualnya berasal dari Kuningan, Jawa Barat. Jikalau, warung burjo diperuntukkan untuk konsumsi semua orang , terdapat jenis warung seperti warung makan Batak. Kehadiran mereka di tanah rantau diperuntukkan khusus untuk orang-orang yang beretnik Batak juga.
Topik terkait makanan, migrasi, dan kontruksi identitas ini dijelaskan Wahyudi Akmaliah dalam seminar intern dengan tema, Pecel Lele Merajalela: Migrasi dan Politik Ekonomi orang Lamongan. Diskusi ini berlangsung pada 14 Mei 2014 di ruang rapat PMB-LIPI Gd. Hebarium Bogrienses, Bogor dan dimoderatori oleh Sudiyono. Ketertarikan Wahyudi terhadap isu ini berawal dari riset lapangan terkait isu politik yang dilakukannya pada 9-14 Februari di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Di tengah riset itu, ia bertemu dengan teman sekolahnya semasa Aliyah di Madrasah Muallimin Muhammadiyah yang berjualan Pecel Lele. Obrolan personal tersebut membuatnya tertarik untuk menuliskan pengalaman tersebut dalam artikel pendek dan kemudian dipresentasikannya.
Menurut Wahyudi, ada dua alasan mengapa orang Lamongan migrasi dan berjualan Pecel Lele, “Mereka pindah ke Jakarta itu karena situasinya tidak aman. Di Lamongan pada tahun 1965-1966 sedang terjadi pembersihan kepada orang-orang PKI dan mereka yang di-PKI-kan. Bukan hanya itu, mereka pindah karena di Lamongan saat itu tanahnya sangat keras dan kering sehingga membuat orang Lamongan susah untuk bertani. Jalan satu-satunya adalah ya ke kota besar, dalam hal ini Jakarta.” Wahyudi menjelaskan lebih lanjut dengan mengutip laporan investigasi Kompas 16 Februari 2014, “Orang Lamongan ini berjualan Pece Lele dan Soto Lamongan ini migrasi ke kota besar setidaknya melalui tiga gelombang; 1) tahun 1965-1966, sebagaimana saya jelaskan sebelumnya, 2) tahun 1970-an dan 1980-an, di mana orang Lamongan yang relatif sukses mengajak saudara-saudari dan tetangganya untuk berjualandi Jakarta, 3) krisis tahun 1998, membuat orang Lamongan tidak hanya berjualan di Jakarta dan sekitarnya tapi juga tersebar di seluruh nusantara.”
Saat orang Lamongan berada di perantauan ini, menurut Wahyudi, mereka juga membentuk organisasi-organisasi untuk memperkuat solidaritas etnik mereka, seperti Forum Silaturahmi Putra Lamongan, organisasi Arek Lamongan Jaya, dan Putera Asli Lamongan. Merantaunya orang Lamongan ke pelbagai daerah di Indonesia tidak berdasarkan keinginan mereka pribadi, melainkan karena adanya jaringan kekeluargaan dan kekerabatan Kampung yang memungkinkan mereka bisa berjualan ke satu daerah. Sebagian warga Jabung, Kecamatan Laren, misalnya, biasanya memilih wilayah Ternate dan Maluku. Sementara itu, warga Mindu, Kecamatan Kedungpring, kebanyakan jualan di Timika dan Papua. Warga Maduran memilih jualan di Makassar, Sulawesi Selatan, dan warga Siman, Kecamatan Sekaran, mendominasi Jabodetabek.
Dalam seminar intern ini ada banyak masukan dari peserta yang sebagian besar di antaranya adalah peneliti PMB untuk melengkapi artikel yang dibuat oleh Wahyudi. Masukan yang diberikan amat beragam, mulai dari perbandingan dengan etnik lain di negara Asia Tenggara, sampai persoalan jaringan antara sesama pedagang. Selain itu, ada juga yang meminta Wahyudi untuk menguatkan kembali dalam tulisannya mengenai Migrasi dan Politik Ekonomi secara teoritik serta kaitannya dengan politik identitas. (Wahyudi Akmaliah Muhammad)