Pemkot Surabaya dibawah pimpinan Walikota Tri Rismaharini telah menutup beberapa lokalisasi pada akhir 2013. Dua lokalisasi terbesar di Surabaya, Dolly dan Jarak secara resmi telah ditutup pada tanggal 18 Juni 2014. Penutupan lokalisasi ini menuai pro dan kontra di masyarakat. Berbagai ormas keagamaan (Muhammadiyah, NU, MUI) sangat mendukung penutupan lokalisasi ini, sedangkan kelompok lain seperti PPL (Paguyuban Pekerja Lokalisasi) sangat menentang penutupan lokalisasi ini karena berkaitan dengan faktor ekonomi.

Penutupan lokalisasi tersebut berkait kelindan dengan beberapa isu, diantaranya adalah: ekonomi,pembangunan dan tata ruang kota, moralitas, serta kesehatan masyarakat. Dalam hal ekonomi dan pembangunan kota, Pemkot Surabaya berencana untuk meningkatkan nilai ekonomi kota melalui pembangunan jalan, kawasan perdagangan dan pusat industri rumah tangga yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) akan mengenai wilayah Dolly dan Jarak. Secara moral, adanya lokalisasi dianggap merusak tatanan rumah tangga dan masa depan anak-anak. Sedangkan secara kesehatan masyarakat, lokalisasi dianggap sebagai pusat penularan penyakit kelamin.

Isu pembangunan kota dalam penutupan lokalisasi ini sangat menarik minat Ahmad Najib Burhani, peneliti dari PMB LIPI untuk mengkajinya melalui penelitian. Naskah awal dari penelitian tersebut yang disampaikandalam seminar intern PMB-LIPI pada tanggal 18 Juni 2014.Hasil dari penelitian ini penting untuk diseminarkan karena menyangkut kepentingan pembangunan kota Surabaya yang akan menggusur Dolly disamping isu prostitusi Dolly yang marak akhir-akhir ini.

Lebih lanjut dikatakan oleh Najib Burhani bahwa,”Penelitian ini mengkaji empat hal yaitu terbentuknya lokalisasi di Surabaya (construction of space); upaya dan proses gentrifikasi kota yang dilakukan oleh pemerintah; resistensi masyarakat dan keterlibatan beberapa ormas dalam proses gentrifikasi”.

Lokalisasi merupakan tempat suatu kota atau desa yang bertemakan seksualitas. Jasa yang ditawarkan di lokalisasi bisa beragam, tidak hanya terbatas pada bentuk prostitusi atau PSK. Beberapa bisnis lain yang berada di kawasan lokalisasi adalah panti pijat, perdagangan alat untuk seks, salon kecantikan, pub dan minum-minuman keras dan tempat parkir. Meskipun disebut sebagai lokalisasi, namun semua lokalisasi di Surabaya secara lokasi tidak terpisah dari perumahan penduduk. Tidak ada tembok yang memisahkannya dengan masyarakat sekitar. Bahkan lokalisasi itu tidak jauh dari beberapa Sekolah Dasar (SD), musholla, masjid dan gereja. Tempat tinggal PSK dan keseluruhan aktivitasnya pun menyatu dengan masyarakat sekitar. Jika mengacu pada definisi lokalisasi, maka menurut Najib Burhani, “Berbagai tempat prostitusi di Surabaya tidak bisa disebut sebagai lokalisasi”. Tempat yang dapat dikatakan sebagai lokalisasi adalah Kramat Tunggak di Jakarta yang kini telah ditutup.

Untukmenjelaskanpersoalanini, NajibBurhani mengacu pada teori Lavebvre.Lokalisasi itu terjadi dengan sendirinya sebagai tempat orang untuk mempresentasikan dirinya (space of representation), bukan sebagai tempat yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk kepentingan atau kegiatan tertentu (representation of space). Lokalisasi itu terbentuk dengan sendirinya melalui aktivitas sehari-hari yang dimulai dari satu wisma yang kemudian berkembang terus menjadi banyak. Ini yang disebut Lavebvre sebagai proses pemaknaan spaceatau the production of space. (Jane Kartika P)