61031 04325805082015 ade

61031 04325805082015 adePemerintah hanya menjaga stabilitas ekonomi di tahun depan, bukan mendorong ekonomi

Asep M, Muhammad Yazid, Maizal W, Adinda Ade

JAKARTA. Janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen nampaknya harus dikubur dalam-dalam.

Dalam nota keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 yang disampaikan Jokowi ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Jumat (14/8) kemarin, pemerintah hanya menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun depan hanya 5,5 persen, sedikit lebih tinggi dari pertumbuhan tahun ini yang diproyeksi 5,2 persen.

Target pertumbuhan itu, kata Jokowi, karena pemerintah mempertimbangkan kondisi ekonomi global. Makanya, patokan rupiah pun dipasang di level Rp 13.400 per dollar Amerika Serikat. “Perlambatan ekonomi Tiongkok dan depresiasi yuan akan berpengaruh pada nilai tukar rupiah di tahun mendatang,” ujarnya.

Agar target tak meleset, pemerintah berjanji memperkuat fundamental dalam negeri. Yakni dengan memperbesar belanja pemerintah, mengaktifkan peran perusahaan negara serta memberikan insentif bagi industri dan masyarakat. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, insentif bagi industri bahkan sudah disiapkan mulai tahun ini.

Salah satunya lewat revisi tax holiday dan penyempurnaan lil Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) yang akan memberi angin segar bagi dunia usaha. Kedua insentif pajak ini diharapkan dapat menarik investor dan membuat sektor industri lebih berkembang.

Sedang bagi masyarakat kecil, pemerintah akan menggelontorkan dana besar untuk menjaga kesejahteraan dan daya beli masyarakat Antara lain dengan meningkatkan rasio anggaran kesehatan dari 3,7 persen menjadi 5 persen dari total anggaran. Pemerintah juga akan memperluas penerima bantuan tunai bersyarat menjadi enam juta keluarga sangat miskin.

Cukupkah itu? Rasanya, masih akan berat. Pasalnya, saat ini ekonomi China justru tengah menuju resesi. Kalaupun pulih, tentu tak akan secepat kilat, butuh waktu yang lumayan lama. Celakanya, daya dorong ekonomi dari dalam negeri masih memble. Kinerja ekspor loyo, investor juga masih wait and see akibat krisis.

Mengandalkan kantong sendiri lewat spending pemerintah sulit lantaran keterbatasan dana. Pun mengandalkan perbankan juga su-lii lantaran loan to deposito rasio-atau LDR saat ini sudah 0 persen.

Upaya pemerintah mendongkrak penerimaan lewat pajak juga sulit. Target penerimaan menjadi Rp 1.320 triliun, naik Rp 75,3 triliun dari target tahun ini Rp 1.244,7 triliun terlalu besar. Tahun ini saja, penerimaan pajak diperkirakan shortfall Rp 120 triliun. Di tengah perlambatan bisnis, upaya mengejar pajak nampaknya akan berat.

Rencana pemerintah memangkas subsidi listrik tinggal Rp 50 biliun, daii Rp 73,1 triliun di tahun ini tentu akan berefek pada kenaikan tarif. Jika data PLN tak valid, pengurangan subsidi ini akan mengurangi daya beli masyarakat miskin.

Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Doddy Arifianto menilai postur anggaran 2016 men cerminkan pemerintah lebih mengutamakan menjaga stabilitas perekonomian. Padahal, “Peran pemerintah mendorong ekonomi,” ujar Doddy. Latif Adam, Ekonom Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) minta pemerintah menyinkronkan kebijakan, utamanya di dunia usaha serta menjaga kestabilan rupiah. “Ini insentif penting untuk dunia usaha,” kata Latif.

» Sumber : Harian Kontan, edisi 15 Agustus 2015. Hal: 1» Kontak : Latif Adam