Demokrasi

DemokrasiPelaksanaan Pilkada Serentak di 262 Daerah Tinggal 3,5 Bulan Lagi

JAKARTA, KOMPAS -Kematangan demokrasi Indonesia diuji kembali dalam pemilihan kepala daerah secara serentak pada 9 Desember 2015. Kali ini adalah pesta demokrasi di 262 daerah yang pelaksanaannya tinggal 3,5 bulan lagi. Hal ini menjadi tantangan bagi demokrasi selan-jutnya di tingkat lokal.

Pilkada serentak sebenamya bukan pertama kali di Indonesia. Pada 9 April 2012, Aceh menggelar pemilihan gubemur dan 17 bupati wali kota secara serentak. Saat itu, ada 142 pasangan calon yang bertarung.

Tahapan pilkada serentak sejauh ini belum berjalan mulus. Dari semula akan digelar di 269 daerah, tujuh daerah lain tidak mendapatkan minimal dua pasangan bakal calon peserta pilkada. Artinya. baru 262 daerah yang pasangan bakal calon peserta pilkadanya sudah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum daerah.

Berdasarkan data KPU (Kompas, 26/8), ada 62 pasangan bakal calon yang dinyatakan tidak memenuhi syarat serta 784 pasangan calon memenuhi syarat di 261 daerah yang akan menggelar pilkada serentak pada 9 Desember 2015. Sebagai dampak dari tidak lolosnya sejumlah pasangan bakal calon, ada tiga daerah yang pendaftaran pesertanya diperpanjang karena kekurangan bakal calon, yakni Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota Denpasar. dan Kabupaten Minahasa Selatan.

Parpol harus mengevaluasi

Sosiolog dari Uruversitas Indonesia, Imam Prasodjo, Minggu (30/8X mengatakan, penyelenggaraan pilkada serentak menjadi ujian demokrasi bagi rakyat Pertimbangan penyelenggaraan pilkada serentak sebenamya terkait dengan pembiayaan, tetapi tak menimbang kualitas dari pilkada serentak, apalagi persiapannya juga jauh dari matang.

“Pelaksanaan pilkada serentak ini mungkin di pusat punya pengalaman, tetapi kepanitiaan di bawah banyak yang baru dibentuk mendekati hari pelaksanaan. Selain persiapannya, juga sosialisasi ten tang aturan mainnya belum terdengar,” ungkapnya.

Selain itu, hal teknis juga harus diselesaikan. Pengadaan kertas suara dan pembaruan data pemilih selalu menjadi persoalan saat pemilihan digelar. Hal ini juga perlu ditangani sungguh-sungguh. Sebab, jika tidak ditangani serius, hal teknis ang menjadi tulang punggung pilkada itu kerap dimanfaatkan menjadi sarana untuk menggelembungkan suara yang berujung pada konfiik dan sengketa.

Belum lagi soal calon inde-penden dan calon tunggal yang menyisakan pertanyaan tentang ketidaksiapan partai politik. “Di tengah orang semangat berdemokrasi. di sisi lain ada gambaran mengajukan calon saja tidak bisa,” ujar Imam.MLsalnya. terkait pencoretan oleh KPU Kota Surabaya terhadap Rasiyo Dhimam Abror yang diusung Partai Amanat Nasional dan Partai Demokrat, Minggu ini. Pencoretan disebabkan surat rekomendasi PAN tidak memenuhi syarat dan tidak adanya surat keterangan bebas tunggakan pajak dari Dhimam.

Dengan pencoretan itu, KPU membuka perpanjangan pendaftaran pada 6-8 September. Namun, jika persyaratan seperti rekomendasi parpol belum juga dipenuhi, Rasiyo Dhimam tetap bakal dicoret. Akibatnya, calon wali kota dan wakil wali kota Surabaya Tri Rismaharini, Whisnu Sakti Buana, yang diusung PDI Perjuangan, tak mendapatkan lawan, dan pilkada diundur pada 2017.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Periudem) Titi Anggndni mengatakan. persoalan surat rekomendasi partai tampaknya sepele. Namun, terkait surat pernyataan calon tak punya tunggakan pajak jadi contoh krusial.

“Inilah pelajaran bagi parpoL Mestinya, elite betul-betul mengevaluasi proses ini. Ke depan, dapat diikuti kedewasaan politik, peraturan, dan praktik yang semakin baik. Pilkada serentak jadi modal dan prakondisi raenuju kematangan demokrasi bangsa. Meski demikian, sejumlah evaluasi perlu dilakukan menuju pilkada serentak nasional 2027 dan pemilu tahun 2019,” kata Titi.

Parpol semestinya juga memperhatikan tertib administrasi. “Kalau betul bakal calon itu disiapkan sejak lama, persyaratan administrasi, termasuk bebas dari tunggakan pajak, harus disiapkan. Bagaimana partai mengikuti pola demokrasi modern jika administrasinya berantakan. Itulah salah satu tantangan demokrasi” ujarya.

Di sisi lain, parpol melalui wakilnya di DPR juga bertanggung jawab atas produksi UU terkait pilkada. “Untuk menjawab tantangan ujian demokrasi. produk undang-undang harus menjawab kebutuhan proses demokrasi. Jangan sampai ada celah hukum dalam undang-undang ke depan yang mengulang kesalahan serupa,” kata Titi.

Ujian

Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ikrar Nusa Bhakti mengatakan, penyelenggaraan pilkada secara serentak merupakan terobosan baru sekaligus ujian bagi para pemangku kepentingan. Melalui pilkada serentak gelombang pertama ini, semua pihak diuji untuk tidak mencederai demokrasL “Kedewasaan berpolitik dari pemerintah, penyelenggara. pengawas, elite politik, hingga masyarakat pemilih menjadi kunci penting,” kata Ikrar.

Ujian pertama, tambah Ikrar, terletak pada penyelenggara. la berharap KPU menerapkan prinsip keterbukaan publik sebagaimana Pilpres 2014. Dalam pilkada serentak, transparansi diharapkan juga terjadi. “Kita tahu, begitu banyak kepentingan di daerah karena para pemangku kepentingan sama-sama memiliki kedekatan geografis, etnik, dan agama dengan pemilih. Di sini, KPU harus membuktikan bahwa mereka tetap bisa netral sebagai penyelenggara. Itu kunci keberhasuan pilkada.” kata Ikrar.

Sementara itu, penyelenggaraan pilkada terkait juga dengan sejumlah tantangan, seperti kerawanan dalam pengamanan maupun penanganan sengketa pilkada Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, MK memiliki banyak pengalaman untuk menyejesaikan sengketa hasil pilkada.

Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti menyatakan kesiapannya mengantisipasi daerah yang rawan dari konfiik selama pilkada.

(IAN/OSA/APA/WSI/PRA/ENG/ REN/TRE/GER/AGE/BIL)

» Sumber : Kompas, edisi 31 Agustus 2015. Hal: 1

» Info lanjut : Ikrar Nusa Bhakti