(Jakarta – Humas LIPI). Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengupahan yang baru disahkan 23 Oktober 2015 menuai pro dan kontra. Kebijakan ini dinilai abai dalam melibatkan Tripatrit (buruh, pengusaha, dan pemerintah) yang berujung pada lahirnya ketidakpercayaan publik.
“Seharusnya dari proses perencanaan, penyusunan, pembahasan, dan penetapan pihak-pihak tersebut dilibatkan sehingga bersifat transparan,” ujar Lilis Mulyani, SH., LL.M, Peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam diskusi publik “Mendorong Kebijakan Pengupahan yang Partisipatif, Dialogis, dan Transparan” di Media Center LIPI Jakarta, Selasa (3/11).
Menurut Lilis, asas keterbukaan sangat penting untuk diterapkan. “Semua pihak harus dilibatkan untuk menghasilkan rekomendasi yang komprehensif,” ujarnya. Pengesahan PP tersebut seharusnya disesuaikan dengan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengedepankan asas keterbukaan, sambungnya.
Sementara itu, Indrasari Tjandraningsih, peneliti perburuhan AKATIGA mengatakan bahwa penyusunan kebijakan tersebut harus mempertimbangkan kondisi daerah dan pemetaan kemampuan daerah dalam merancang kebijakan tenaga kerja. “Selain itu, perlu dilakukan pemetaan kondisi sektor usaha dan kondisi SDM daerah, serta konsultasi dengan daerah dalam penyusunan kebijakan pusat,” ungkapnya.
Menurut Triyono, Peneliti Puslit Kependudukan LIPI, penyesuaian kebijakan ketenagakerjaan yang kurang transparan berdampak terhadap penolakan PP Pengupahan. “Hal ini berdampak terhadap hubungan industrial yang tidak harmonis sehingga mengganggu iklim ketenagakerjaan yang kontraproduktif dan berpengaruh terhadap penciptaan kesempatan kerja,” jelasnya. Padahal kita dihadapkan pada realitas adanya peluang bonus demografi, dan pentingnya penciptaan kesempatan kerja yang layak, imbuh Triyono.
Dengan proses yang kurang transparan tersebut, Pratiwi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengkhawatirkan PP Pengupahan tersebut tidak mendukung kesejahteraan dan tidak menjawab kebutuhan buruh. “Kami mendorong dialog yang melibatkan semua pihak untuk menghindari kecacatan formil dalam penetapan kebijakan tersebut,” pungkasnya. (msa/ ed: yos,isr)
Sumber : Humas LIPI