Penyebaran informasi mengenai radikalisme, kekerasan, maupun pornografi sangat mudah diakses oleh siapa saja, termasuk peserta didik. Secara viral, informasi tersebut didapat peserta didik melalui media sosial yang ada pada gadget dalam genggaman masing-masing.
Hal itu tentu saja menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan atau sekolah untuk tetap mampu menginternalisasikan nilai-nilai positif saat segala informasi terpapar dengan mudah memenuhi ruang kesadaran para peserta didik. Timbul ide agar ada pembatasan, bahkan pelarangan membawa gadget ke sekolah bagi peserta didik. Sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan jika sekolah sebagai unit yang paling mikro dalam pembelajaran mampu memberikan pemahaman tentang penggunaan gadget secara efektif kepada peserta didik.
Melarang peserta didik untuk memiliki gadget atau membawanya ke sekolah tentu hal yang kontraproduktif. Yang diperlukan adalah bagaimana pihak sekolah, terutama guru, memberikan pemahaman kepada peserta didik agar memahami pemanfaatan gadget untuk halhal yang positif dan mendukung kebutuhan pembelajaran.
Gagdet yang dimiliki peserta didik harus dioptimalkan untuk pembelajaran. Optimasi penggunaan gadget itu penting karena pembelajaran akan menjadi lebih praktis. Mereka akan mudah mendapatkan informasi yang dibutuhkan untuk kegiatan pembelajaran. Proses yang tentu harus dilatihkan secara terus-menerus.
Harapannya, peserta didik memiliki kemampuan untuk secara sadar menggunakan gadget yang dimiliki. Yakni, untuk memilih informasi mana yang memang bermanfaat bagi kehidupan keseharian.
Tentu tantangan berat bagi orang tua maupun lembaga pendidikan memberikan konter yang efektif terhadap infomasi negatif yang menyebar melalui internet. Perlu upaya menyeluruh, baik secara struktural maupun kultural. Tujuannya, peserta didik tidak terjebak pengaruh yang disebabkan informasi-informasi negatif seperti radikalisme, aksi kekerasan, maupun pornografi.
Dalam hal penggunaan gagdet yang berlebihan, sering kali permasalahan tidak terdapat pada anak. Ada keteladanan yang kurang dari orang tua, guru, maupun orang dewasa di sekitar anak.
Sering kali tanpa sadar orang dewasa memberikan contoh yang tidak baik. Kebiasaan diskusi dan berbagi saat berkumpul bersama semakin hilang karena tiap pihak asyik dengan gadget masing-masing.
Kerja sama yang baik antara orang tua dan pihak sekolah harus terus dijalin dalam proses pendidikan peserta didik. Termasuk pemberian pemahaman soal penggunaan gadget yang efektif.
Orang tua tentu saja menjadi komponen yang penting dalam keberhasilan pendidikan anak. Ruang dialogis antara sekolah dan orang tua harus dijalin erat. Tanpa hal tersebut, proses pendidikan tak akan efektif.
Kedua pihak harus mampu meyakinkan anak soal penggunaan gadget yang sesuai dengan kebutuhan keseharian. Melalui hubungan yang erat, sekolah akan merasa didukung penuh untuk melaksanakan setiap kebijakan yang bertujuan mendidik dan mencerdaskan peserta didik.
Era global dengan segala kompleksitasnya memang membuat sekolah menghadapi tantangan yang belum dihadapi sebelumnya. Jika dahulu sekolah merupakan salah satu otoritas yang sangat kuat dalam menginternalisasikan nilai dan karakter kepada peserta didik, saat ini kondisinya sudah sangat berbeda.
Mengapa peserta didik lebih senang menggunakan gagdet saat pembelajaran di sekolah? Tentu akan muncul banyak jawaban. Salah satu jawaban yang mungkin adalah pembelajaran yang dilakukan oleh guru tidak menarik. Itu membuat peserta didik dengan mudah teralihkan untuk memainkan gagdetnya daripada memperhatikan pembelajaran. Jika itu yang terjadi, para guru harus meninjau ulang pembelajaran yang telah dilakukan.
Guru sebagai orang yang seharihari berhadapan dengan peserta didik tentu diharapkan tidak hanya menyajikan teori dan wacana saat pembelajaran di ruang kelas. Guru memandu setiap pembelajaran, bukan melakukan indoktrinasi, apalagi menjadi pihak yang selalu merasa benar.
Guru harus memberikan peluang bagi peserta didik untuk membangun wacana sendiri, pandangan terhadap nilai-nilai kehidupan keseharian. Pembelajaran harus jadi proses yang menyenangkan, juga memberikan ruang pencerahan dan kesadaran.
Jika itu terjadi, niscaya peserta didik akan aktif berdiskusi dan berkontribusi dalam pembelajaran daripada memainkan gadget. Sebab, mereka menyadari bahwa pembelajaran di sekolah memberikan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan keseharian.
Pembelajaran akan sangat membosankan jika fokusnya hanya capaian kognitif yang berupa nilainilai akademis, yang kemudian digunakan sebagai satu-satunya indikator ukuran prestasi peserta didik. Padahal, peserta didik, terutama di usia remaja, merupakan individu-individu yang membutuhkan banyak perspektif mengenai kehidupan keseharian yang dihadapi.
Kehadiran gadget harus mampu dimanfaatkan oleh guru untuk mendalami beragam persoalan kehidupan. Itu bisa dilakukan melalui banyak informasi yang relevan dengan kegiatan pembelajaran. Peserta didik dapat diminta untuk mencari informasi yang dibutuhkan melalui gadget yang dimiliki.
Pembelajaran akan lebih bermakna dan sangat kontekstual karena menghadirkan kondisi-kondisi faktual keseharian. Hal yang sangat bisa dilakukan, terutama dalam pembelajaran ilmu sosial. Pembelajaran akan menjadi lebih menyenangkan dan menggugah kesadaran peserta didik.
Anggi Afriansyah (Peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI)