imageContent

imageContentPesantren merupakan salah satu institusi pendidikan yang memiliki peran yang strategis dalam konstruksi pendidikan di Indonesia. Yudi Latif (2013) dalam bukunya “Genealogi Intelegensia: Pengetahuan dan Kekuasaan Intelegensia Muslim Indonesia Abad XX” mengungkapkan bagaimana kontribusi lembaga pendidikan Islam salah satunya pesantren dalam mencipta tradisi politik intelektual kalangan muslim. Ia mencontohkan bagaimana keberhasilan Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur yang menurutnya merupakan pusat teladan dari modernisasi komunitas epistemik tradisionalis di Jawa.

Seperti yang kita ketahui bersama pengaruh besar Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh Hadratu Syeikh Hasyim Asyari telah memunculkan intelektual muslim yang memiliki kapasitas mumpuni seperti KH Muhamad Iljas, KH Abdul Wachid Hasyim, sampai KH Abdurrahman Wahid. 

Pendidikan pesantren yang tidak hanya mengedepankan penguatan kemampuan kognitif sesungguhnya dapat menjadi pilihan utama bagi para orang tua. Di pesantren tidak hanya intelektualitas yang ditempa, tetapi juga kreativitas, empati, toleransi, juga kemandirian. 

Idealnya lulusan pesantren akan menjadi uswah hasanah bagi masyarakat sekitar. Nilai-nilai keteladanan yang disemaikan lewat ketokohan ulama merupakan salah satu daya tarik pesantren. 

Legitimasi seorang ulama pesantren tidak dinilai sebatas pendidikan formal yang dimilikinya tetapi jauh dari itu. Seorang Ulama adalah patron bagi santri-santri maupun masyarakat luas. Pengakuan yang tidak serta merta didapat setelah menempuh pendidikan formal. Seorang Ulama lebih dari itu, posisi yang diukur dari kematangan intelektual keagamaan maupun kebermanfaatan kepada sesama manusia. Bukan gelar akademik semata. Oleh karenanya posisi ulama dalam kehidupan masyarakat memegang peran yang sangat strategis.

Erosi keteladanan dewasa ini dapat dimunculkan kembali melalui proses pendidikan pesantren. Dikotomi pendidikan umum dengan pendidikan keagamaan harus benar-benar dikesampingkan. Apalagi sudah banyak pesantren yang dapat menyinergikan pendidikan umum dengan pendidikan keagamaan. Bukankah salah satu tujuan pendidikan adalah membuat kemaslahatan bagi umat. Pesantren harus menjadi garda terdepan untuk memberikan pencerahan bagi umat. Lulusan pesantren apapun latar belakang sosial ekonomi dan budayanya harus mampu berdaya dan memberdayakan umat. 

Karakteristik santri pesantren yang beragam juga mampu menjadi ruang di mana pembiasaan terhadap perbedaan dihadapi dalam keseharian. Selama 24 jam para santri bergaul dengan mereka yang berbeda suku bangsa, kelas sosial, dan status ekonomi. Mereka tentu dapat belajar keragaman Indonesia. Internalisasi pemahaman keragaman dimulai di lingkup yang sangat mikro. Tentu ini dapat menjadi pembelajaran berharga ketika mereka kembali ke masyarakat.

Di samping kontribusinya dalam penciptaan intelektual muslim dan kesadaran mengenai keragaman, pesantren dalam sejarahnya memiliki keberpihakan pada pendidikan penduduk miskin, mereka yang terpinggirkan secara ekonomi, sosial budaya maupun politik. Kaum yang tak bisa mengjangkau pendidikan yang berkualitas. Para santri yang masuk ke pesanten tidak selalu berasal dari keluarga yang mampu secara ekonomi.

Keluarga miskin dari kalangan muslim yang tidak mampu mengakses pendidikan di sekolah umum mejatuhkan pilihan ke pesantren karena adanya kecenderungan keterbukaan dunia pesantren menerima mereka yang terpinggirkan. Ditambah sudah banyak pesantren yang memiliki juga lembaga persekolahan yang mengajarkan muatan pendidikan umum. Biaya pendidikan yang relatif lebih murah menjadi daya tarik bagi keluarga yang tidak mampu. Para orang tua menitipkan anak-anaknya ke pimpinan pondok pesantren karena ingin dididik menjadi manusia yang berguna di masa depan. Dengan berbagai harapan agar anak mereka menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama.

Ada kalanya Kyai di pesantren dititipkan anak-anak yang orangtua yang sudah tidak mampu membiayai kehidupan keseharian anak-anaknya. Mereka dititipkan ke pesantren karena mereka tak berdaya. Mereka mengikhlaskan anak-anak mereka untuk didik oleh Kyai di pesantren. Secara terbuka pesantren menerima anak-anak yang yang terpinggirkan tersebut.

Seperti temuan Makmuri Sukarno (2013) dalam tulisannya Penuntasan Wajib Belajar 9 tahun di “Daerah Seribu Pesantren”: Masalah Sosial-Ekonomi, Politik, dan Budaya yang merupakan hasil penelitian di Kabupaten Bangkalan menjelaskan bahwa pesantren sebagai identitas kultural masyarakat dipandang sebagai public good yang terbuka bagi umat, biaya terjangkau, namun cukup menjanjikan jalur mobilitas vertikal untuk mencapai status sosial yang tinggi jika santri berhasil menjadi tokoh agama. 

Bagi keluarga miskin, belajar di pesantren dengan biaya yang murah menjadi pilihan yang lebih rasional. Apalagi sudah ada role model lulusan pesantren yang berhasil menjadi tokoh masyarakat baik itu pengusaha, TKI yang sukses, maupun pejabat di lingkup pemerintah daerah. Kondisi ini kian mengukuhkan pesantren adalah pilihan luhur, praktis dan ekonomis bagi masyarakat di Kabupaten Bangkalan. Dari penelitian tersebut juga diungkapkan bagaimana pesantren menjadi lembaga jaring-penyelamatan sosial (social safety net institution) di bidang pendidikan ketika krisis ekonomi berlangsung.

Kaum terpinggirkan tentu wajib mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Pesantren menjadi salah satu bagian dalam proses pencerdasan masyarakat yang terpinggirkan tersebut. Melaui pesantren mereka ditempa untuk menjadi sosok-sosok yang baik pemahaman keagamaannya, mampu bersosialisasi dengan baik, juga berkontribusi terhadap kemanusiaan.

Anak-anak dari kalangan keluarga miskin merupakan aset bangsa yang seringkali dilupakan. Seringkali mereka terjerembab kepada problematika dunia remaja. Mereka tak punya pilihan karena tak mendapatkan pendidikan yang baik. Pesantren memiliki pengalaman panjang dalam menempa anak-anak yang terpinggirkan tersebut untuk menjadi manusia yang lebih baik. Ketika tak ada yang perduli terhadap nasib anak bangsa yang kurang beruntung tersebut. Pada pendidikan pesantrenlah banyak keluarga miskin menyematkan mimpinya. (Anggi Afriansyah)

Penulis adalah Peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan, Alumi Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya, Jawa Barat

Sumber: http://www.nu.or.id/post/read/66588/pesantren-dan-pendidikan-kaum-terpinggirkan