Jakarta – Ilmu pengetahuan sosial dan humaniora memiliki peran penting dalam mengembangkan nilai-nilai kehidupan sosial dan kemasyarakatan yang menunjang karakter kehidupan berbangsa dan bernegara. Peran ilmu ini dan penelitiannya juga secara nyata memberikan kontribusi signifikan dalam berbagai program pembangunan. Berkaca dari hal itu, perkembangan ilmu sosial dan humaniora di Indonesia dan negara-negara lain tentu penting untuk dikaji, apalagi perkembangan ilmu ini masih mengalami krisis identitas hingga saat ini. Terkait hal tersebut, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) mengkajinya dalam kegiatan bertajuk The 1st International Conference on Social Sciences and Humanities (ICSSH) pada 18-20 Oktober 2016.Ilmu pengetahuan sosial dan humaniora di Indonesia sejatinya masih dalam keadaaan krisis identitas. Penyebabnya adalah sejak masa kolonial, perspektif orientalisme ilmuwan Barat telah mematikan identitas ilmu pengetahuan sosial dan mencerabut dari akar masyarakat bangsa ini, yakni masyarakat negara yang terjajah. “Meskipun kebanyakan negara-negara di Asia dan Afrika termasuk Indonesia telah merdeka secara politik, namun para ilmuwan sosialnya masih gagal dalam mengembangkan ilmu pengetahuan sosial yang sesuai dengan kondisi masyarakatnya,” ujar Deputi Bidang IPSK LIPI, Tri Nuke Pudjiastuti. Menurut cara pandang ilmuwan Barat, lanjut Nuke, dalam perspektif post-kolonial, kebanyakan kelompok etnolinguistik di negara-negara Asia dan Afrika menjadi diskursus teoritis karena mereka merepresentasikan kategori yang hilang dalam diskursus yang dibangun. “Cara melihat orang lain seperti ini telah membentuk pengetahuan tentang budaya dan identitas orang Asia sebagai sesuatu yang unik, termasuk tentunya cara memandang masyarakat dan kebudayaan di Indonesia,” tutur Nuke.Menurutnya, dalam kasus Indonesia selama Orde Baru, pemerintah mempertahankan imajinasi sosial tentang liyan, yaitu melihat masyarakat dan kebudayaan yang bersifat unik atau khas. Kemudian, pemerintah juga memandang masyarakat dan kebudayaan Indonesia sendiri seperti “terasing” dari konteks yang bersifat lokal. Hal ini merupakan cara produksi ilmuwan kolonial maupun pada masa setelah kemerdekaan. Oleh sebab itu, Nuke katakan, diperlukan terobosan baru dalam proses produksi pengetahuan untuk memahami masyarakat dan kebudayaan dengan perangkat-perangkat ilmu pengetahuan sosial dan humaniora yang lebih membumi dan cara pandang baru, yang tidak melihat masyarakat dan budaya sebagai sesuatu yang terasing dari lingkungan lokalnya. “Langkah produksi pengetahuan tersebut melalui serangkaian penelitian ilmu pengetahuan sosial dan humaniora yang bersifat kritik, termasuk melakukan otoktritik yang terus-menerus terhadap hasil temuan penelitian dan metodologi,” tandas Nuke. Dikatakannya, proses produksi pengetahuan semacam ini membutuhkan wahana untuk mempertemukan karya-karya tulis ilmiah baru bidang ilmu pengetahuan sosial dan humaniora. Tujuannya agar proses produksi terdiseminasi pada satu sisi, dan mendapatkan pengayaan pada sisi lainnya. Pada titik inilah penyelenggaraan kegiatan ICSSH menjadi sangat penting. Sebab, konferensi internasional itu memiliki tujuan untuk mendiskusikan perkembangan ilmu pengetahuan sosial dan humaniora di Indonesia dan negara-negara lain, baik secara teoritis maupun terapannya dalam berbagai bidang. “Selain itu, kegiatan ini tentu dapat membangun jejaring akademik dengan mempertemukan para akademisi di lingkungan Kedeputian Bidang IPSK LIPI dengan para akademisi dari berbagai lembaga penelitian dan universitas, serta menjaring makalah dalam berbagai disiplin ilmu sosial kemanusiaan,” pungkasnya. (ANP)