ilmu pengetahuan sosial alami krisis identitas Oe3tzU1fFAJakarta –  Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menggelar kegiatan bertajuk The 1st International Conference on Social Sciences and Humanities (ICSSH) pada 18-20 Oktober 2016.  Kegiatan ini diadakan di gedung LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.

Acara yang dibuka Ketua LIPI Prof Iskandar Zulkarnaen ini menghadirkan pembicara kunci dari ilmuan sejumlah negara. Antara lain Richard Chauvel (Universitas Melbourne, Australia) dan Leonard Sebastian (Rajaratnam School of International Studies).

Pada Rabu, 19 Oktober 2016, akan tampil Aris Ananta (UI), Hilmar Fairid (Dirjen Kebudayaan), Carunia Mulya dan Tri Nuke Pudjiastuti (LIPI) menjadi pembicara kunci. Selain itu ada puluhan ilmuwan bicara dalam sesi-sesi panel.

“Ilmu pengetahuan sosial dan humaniora di Indonesia masih dalam keadaaan krisis identitas,” kata Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI, Tri Nuke Pudjiastuti dalam siaran persnya.  

Penyebab masalah itu berakar sejak masa kolonial dimana  perspektif orientalisme ilmuwan Barat telah mematikan identitas ilmu pengetahuan sosial dan mencerabut dari akar masyarakat bangsa ini, yakni masyarakat negara yang terjajah.

Memang, banyak negara di Asia dan Afrika termasuk Indonesia telah merdeka secara politik. Namun para ilmuwan sosialnya, ujar Nuke, masih gagal dalam mengembangkan ilmu pengetahuan sosial yang sesuai dengan kondisi masyarakatnya.
 
Menurut cara pandang ilmuwan Barat, dalam perspektif post-kolonial, kebanyakan kelompok etnolinguistik di negara-negara Asia dan Afrika menjadi diskursus teoritis. Karena mereka merepresentasikan kategori yang hilang dalam diskursus yang dibangun.

“Cara melihat orang lain seperti ini telah membentuk pengetahuan tentang budaya dan identitas orang Asia sebagai sesuatu yang unik, termasuk tentunya cara memandang masyarakat dan kebudayaan di Indonesia,” tutur Nuke yang banyak meneliti tentang pekerja migran. 
 
Menurutnya, dalam kasus Indonesia selama Orde Baru, pemerintah mempertahankan imajinasi sosial tentang liyan, yaitu melihat masyarakat dan kebudayaan yang bersifat unik atau khas.

Kemudian, pemerintah juga memandang masyarakat dan kebudayaan Indonesia sendiri seperti “terasing” dari konteks yang bersifat lokal. Hal ini merupakan cara produksi ilmuwan kolonial maupun pada masa setelah kemerdekaan.
 
Oleh sebab itu, Nuke mengusulkan diperlukan terobosan baru dalam proses produksi pengetahuan untuk memahami masyarakat dan kebudayaan dengan perangkat-perangkat ilmu pengetahuan sosial dan humaniora yang lebih membumi dan cara pandang baru, yang tidak melihat masyarakat dan budaya sebagai sesuatu yang terasing dari lingkungan lokalnya.

“Langkah produksi pengetahuan tersebut melalui serangkaian penelitian ilmu pengetahuan sosial dan humaniora yang bersifat kritik, termasuk melakukan otoktritik yang terus-menerus terhadap hasil temuan penelitian dan metodologi,”  kata Nuke yang menyelesaikan pendidikan Master of Arts bidang  Geography and Environmental Studies, dari University of Adelaide, Australia.
 
Proses produksi pengetahuan semacam ini membutuhkan wahana untuk mempertemukan karya-karya tulis ilmiah baru bidang ilmu pengetahuan sosial dan humaniora. Tujuannya agar proses produksi terdiseminasi pada satu sisi, dan mendapatkan pengayaan pada sisi lainnya.

“Pada titik inilah penyelenggaraan kegiatan ICSSH menjadi sangat penting,” kata Nuke. Sebab, konferensi internasional itu memiliki tujuan untuk mendiskusikan perkembangan ilmu pengetahuan sosial dan humaniora di Indonesia dan negara-negara lain, baik secara teoritis maupun terapannya dalam berbagai bidang.

Nuke berharap kegiatan ICSSH ini dapat membangun jejaring akademik dengan mempertemukan para akademisi di lingkungan Kedeputian Bidang IPSK LIPI dengan para akademisi dari berbagai lembaga penelitian dan universitas, serta menjaring makalah dalam berbagai disiplin ilmu sosial kemanusiaan. UNTUNG WIDYANTO

Sumber: https://nasional.tempo.co/read/news/2016/10/19/079813303/lipi-gelar-konferensi-menyoal-krisis-identitas-ilmu-sosial