Mudahnya masyarakat dalam mengakses informasi yang tidak diimbangi dengan literasi digital yang baik dapat menyebabkan penyebaran informasi salah yang tidak terkontrol.  “Kita tidak bisa mengelak. Dunia maya tidak bisa kita raba, namun menimbulkan efek nyata,” ujar Kepala Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) , Sri Sunarti pada “Seminar Nasional Media Sosial dan Tantangan Indonesia di Masa Depan”, Selasa (17/12) di Jakarta.

Sri menjelaskan, media sosial bekerja berdasarkan algoritma sehingga pengguna akan mendapatkan informasi yang disuka atau yang relevan saja. “Ini dapat menggerus logika dalam penerimaan informasi dan menumpulkan nalar kritis publik.,” terangnya.

LIPI telah melakukan penelitian untuk memetakan sebagian pola penyebaran kebencian selama masa kampanye Pemilu Presiden 2019 lalu. “Survey menunjukkan pendidikan, akses pada internet, juga faktor geografis berhubungan dengan tingkat keterpaparan dan kepercayaan seseorang terhadap misinformasi dan hoax,” ujar Ibnu. Dirinya menjelaskan, temuan survey menunjukkan pendidikan tinggi belum tentu menjadikan seseorang yang mampu mengidentifikasi misinformasi dan hoax.

Istilah hoax sendiri populer melalui situs jejaring sosial Kaskus. Menurut data Daily Social 2018, penyebaran hoax utama melalui Facebook dan Whatsapp, dan cenderung meningkat di masa-masa pemilu.

Santi Hapsari dari Kedeputian Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan, dan HAM Strategis Kantor Staf Presiden, memaparkan pemerintah sudah mengambil langkah tegas dalam penanggulangan hoax dan disinformasi. “Hal ini dilakukan karena hoax dapat berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan publik pada pemerintah, dan dapat menimbulkan perpecahan bangsa,” terangnya.

Dirinya menjelaskan, pihaknya  melakukan tindakan pendekatan persuasif melalui literasi digital dan platform cek fakta. “Sedangkan penindaklanjutan hukum dilakukan dengan pemblokiran situs atau akun penyebar hoax dan penindakan hukum oleh Polri sesuai perundang-undangan,” ujar Santi.

Proiect Officer Digital Defenders Partnership HIVOS, Afra Suci Ramadhan, memaparkan bahwa inisiasi literasi digital sudah marak, namun keberadaannya masih terbatas dan belum mudah dijangkau. “Wadah fact-checking juga sudah menjamur namun masih kesulitan dalam diseminasi. Oleh karena itu HIVOS mengembangkan HIVOS Anti-Hoax sebagai proyek akselerasi  untuk generasi muda dalam memerangi hoax,” jelasnya.

Saat kejadian kerusuhan di Papua beberapa waktu yang lalu, pemerintah sempat melakukan pembatasan akses internet atau internet shut down. Langkah dilakukan untuk mempersempit penyebaran hoax dari media sosial. Namun, Executive Director SAFEnet Damar Juniarto menyebut bahwa langkah ini bukah langkah terbaik. “Internet shut berimbas pada menurunnya geliat ekonomi, menghambat layanan publik, hingga meningkatnya penggunaan VPN yang dapat membuka peluang pencurian data digital,” tutupnya.  (sr/ed: fz)

Sumber : Biro Kerja Sama, Hukum, dan Humas LIPI

Sivitas Terkait : Dr. Sri Sunarti Purwaningsih M.A.