Jakarta, Humas LIPI. Permasalahan COVID-19 bukan hanya terkait kesehatan. Pandemi ini harus dilihat menyeluruh ke sektor-sektor lain yang ada di dalam negeri maupun luar negeri, terang  Deputi  Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tri Nuke Pudjiastuti. Nuke mengatakan, pandemi  telah mengubah diplomasi di tingkat global dan regional. “ Bagaimana arah diplomasi total pasca pandemi bisa dikembangkan dari banyak sisi oleh Indonesia di tingkat global ?. Untuk menjawab itu, telah disiapkan  studi program ‘Prioritas Riset Nasional’ (PRN ke-4 ) yang merupakan konsorsium lembaga dan universitas,yaitu: LIPI, LAPAN, UNAIR, UNPAR, UI, Human Rights Working Group (HRWG) dan CSIS“, ujar Nuke saat membuka acara webinar “Tantangan Diplomasi Total Indonesia di Pasca Pandemi COVID- 19”, Rabu (17/6).

Nuke menyebutkan, studi PRN ke-4 merupakan  kajian yang khusus memberikan perhatian pada masalah-masalah kewilayahan internasional.  Dirinya menyebutkan, “Arah dari studi ini terkait faktor-faktor eksternal,  bagaimana peran Indonesia ditingkat regional dan global, serta diplomasi total kedepan pada masa pandemi COVID-19”, sebutnya.  

Kepala Pusat Penelitian Kewilayahan LIPI, Ganewati Wuryandari, berpendapat bahwa penguatan peran Indonesia di tingkat Regional dan Global menjadi tema besar PRN ke-4 dan merupakan bagian dari lima tema PRN di bidang sosial dan humaniora. “Tema riset PRN ke-4 penting bagi Indonesia yang dalam dua dekade terakhir menghadapi konstelasi ekonomi politik global yang dinamis. Untuk itu Indonesia memerlukan terobosan-terobosan baru dalam kebijakan, strategi dan diplomasi ekonomi dan politiknya”,  ungkap Ganewati.

Sementara ditinjau dari sudut pandang diplomasi, hadir pada acara webinar ini diplomat Indonesia yang juga menjabat Menteri Luar Negeri priode 2001-2009, Hassan Wirajuda menyatakan,  kita tidak membicarakan diplomasi Indonesia saat ini,  tetapi diplomasi Indonesia kedepan. Diplomasi tergantung pada kapan pandemi ini berakhir. “ COVID-19 telah mengubah banyak pandangan politik dan ekonomi di tingkat global dan regional. Untuk itu, Indonesia perlu menerapkan politik luar negeri ke arah regional dan bilateral”, katanya.

Lebih jauh Hasan mengatakan, Pengertian diplomasi total dalam topik ini, ketika menjadi Menteri Luar Negeri banyak memakai istilah tersebut saat menghadapi polarisasi atau silang pendapat yang tajam antara aktor-aktor politik diawal reformasi. Sehingga, dicanangkanlah diplomasi total yang  terinspirasi dari pidato Bung Hatta 10 Desember 1945 yang mengatakan “hanya dengan melibatkan secara aktif semua komponen bangsa maka diplomasi Indonesia akan berhasil mencapai kepentingan nasional, dengan melibatkan semua aktor, dan tidak monopoli pemerintah”, disiarkan di Radio Nasional.

“Diplomasi total  sebetulnya di ambil dari total foot ball dimana sekelompok tim sebelas orang kerja berdasarkan taktik, strategi yang digariskan pada posisinya masing-masing secara kompak kearah  lawan untuk menggolkan bola (disini dimaksudkan untuk kepentingan nasional Bangsa)”, rincinya. Oleh karena itu, dalam kehidupan politik nasional yang stabil dan adanya persatuan nasional yang semakin mantap, maka totallitas diplomasi sudah harus terjadi dengan penerapan new internasional land scape.

Pandemi COVID-19 tercatat  sebagai pandemi global, karena hanya dengan batas waktu enam  bulan telah mengubah global dan regional land scape. Untuk itu, adaptasi kebijakan politik luar negeri Indonesia perlu diambil pada tingkat nasional, regional, dan global. Bicara New Normal, Hassan mencermati tentang politik luar negeri Indonesia pasca pandemik ditafsirkan mulai 2022. “Apa dan bagaimana politik luar negeri Indonesia nantinya, adalah suatu proyeksi atau prediksi”, pungkas Hassan. ( suhe/ed.mtr)