Ibukota Negara IKN

Ibukota Negara IKNJakarta, Humas LIPI. Pada awal 2020 pergerakan informasi, diskusi, atau pun rapat-rapat tentang pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) cukup cepat. Tetapi, pergerakannya terganggu setelah  Indonesia pada awal Maret pertama kali dikonfirmasi adanya pandemi  COVID-19. “ Pandemi Corona telah mempengaruhi semua lini pergerakan termasuk persiapan IKN. Namun, kondisi ini harus tetap menjadi kekuatan besar dan semangat untuk tetap berpartisipasi dalam rencana tersebut”, jelas Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tri Nuke Pudjiastuti, dalam pembukaan webinar bertajuk ‘Ibu Kota Negara (IKN) yang Inklusif: Telaah Aspek Sosial dan Lingkungan Hidup Dalam (Proses) Perencanaan Pembangunan’, pada Kamis (9/7).

Nuke menyampaikan , meski kondisi pandemi,  diskusi akademik aspek sosial tetap dilakukan untuk memberikan masukan kepada para pemangku kepentingan terkait, masyarakat secara lebih luas dan pentingnya inkorporasi dari aspek sosial dalam proses perencanaan pembangunan IKN. “Diskusi soal IKN tidak lepas dari bagaimana: perencana suatu wilayah dapat terarah; pola-pola forcasting dengan teknik analisa perhitungan secara kualitatif dan kuantitatif yang benar; kemudian sisi sosial, lingkungan dan ekonomi”, terang Nuke.

Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Herry Yogaswara, mengatakan saat rencana pembangunan IKN digulirkan pemerintah, mulai terjadi geliat-geliat reaksi beragam di masyarakat, hal ini tergambar dari rekaman berita beberapa media masa. “Blur informasi yang di terima punya makna dan dinamika berbeda dilapangan”, katanya. Herry menjelaskan, ada beberapa kompleksitas yang muncul,  seperti klaim dari : masyarakat Adat Dayak, keturunan Kesultanan Kutai, masyarakat lokal  dan aspek legal penguasaan tanah tetap mewarnai pembangunan IKN.

Sehingga , menurut Herry  potensi konflik sosial akan terjadi karena keragaman etnis, dengan komposisi yang tidak seimbang antara kota dan kabupaten sekitar calon IKN.  “ Memahami kelompok sosial yang dinamis perlu melihat keragaman intra-etnis maupun antar etnis. Contoh, terbentuknya berbagai kelompok-kelompok yang lebih kecil dan afiliasi organisasi dengan kepentingan yang berbeda-beda”, terangnya.. Studi, berdasarkan proporsi etnis berdasarkan tempat lahir di  Kabupaten Penajam Paser Utara, cakupannya: Kalimantan Timur 66%, Jawa Timur 13% dan Sulawesi Selatan 6%. Sedangkan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur 74%, Jawa Timur 8% dan Sulawesi Selatan 6%. “

Herry menegaskan untuk menangani hal itu perlu adanya mitigasi konflik sosial. “Memastikan hak-hak masyarakat lokal terkait sumber daya alam, mempersempit ruang gerak kelompok dari sikap primordialisme,  dan mengutamakan ruang-ruang dialog masyarakat”, tegasnya. Kemudian dalam  membangun inklusivitas masyarakat lokal yang beragam perlu di tekankan akan partisipasi masyarakat terhadap  pembangunan ibukota baru. “ LIPI  sebagai institusi penelitian untuk kelompok kerja sosial budaya demografi dan lingkungan, berupaya memberikan masukan awal tentang pentingnya inklusivitas masyarakat lokal ini”, pungkasnya.  (swa/ed:mtr)