seminarcovidipsk

seminarcovidipskJakarta, Humas LIPI. COVID-19 dan upaya penanganan telah berbagai macam cara dilakukan negara negara dunia untuk mengatasi pandemi termasuk Indonesia. Dari awal ditemukannya virus Corona, Indonesia telah melakukan berbagai cara, salah satunya penerapan ‘Pembatasan Sosial Berskala Besar’ (PSBB). “Indonesia memiliki banyak provinsi dan kabupaten atau kota, dengan kebijakan PSBB yang berbeda hingga aturan menjalankan protokol New Normal. Namun, masih belum cukup untuk menekan persebaran virus”, jelas Herry Yogaswara, Kepala Pusat Penelian  Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). dalam seminar virtual bertajuk ‘Managing COVID-19 pandemic – Experiences from Japan and Lesson Learned for Indonesia’, pada Jumat (24/7) lalu.

Herry mengatakan, LIPI sebagai lembaga penelitian telah terlibat  dalam upaya  mengurangi pandemi COVID-19, yaitu (1). Studi banding dengan negara lain seperti, Korea Selatan, Singapura, Vietnam, Australia dan  juga Jepang; (2). Studi cepat  survei sosial demografi dampak COVID-19, identitas kasus positif, PSBB, dampak terhadap tenaga kerja; (3). Diseminasi melalui kegiatan seminar virtual untuk memberikan informasi dan rekomendasi kebijakan untuk memberikan masukan kepada pemerintah.

“Sejumlah studi sosial membawa harapan baru strategi kebijakan dalam penanganan COVID-19. Belajar dari banyak negara dalam hal kebijakan penanggulangan pandemi, pemerintah Indonesia dapat mencontoh apa yang dilakukan oleh Jepang untuk melihat komparasi dalam konteks ekonomi, sosial budaya dan politik”, jelas Herry    

Diketahui penanganan  pandemi di Jepang, kata kuncinya adalah kesadaran masyarakatnya atas dasar ‘suka rela’untuk menaati peraturan pemerintah demi kepentingan bersama, kata Firman Budianto, Peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan LIPI. Firman mengungkapkan, strategi pemerintah Jepang bergerak cepat dalam menekan penyebaran COVID-19 dengan  tiga pilar utama, yaitu (1) deteksi dini dan respons cepat terhadap kluster baru; (2)  peningkatan perawatan secara  intensif dan pengamanan sistem pelayanan medis untuk pasien yang sakit parah, termasuk peralatan medis; (3) modifikasi perilaku masyarakat dengan menerapkan  3C, atau tinggal di rumah dengan dasar sukarela.

Syarifah Aini Dalimunthe, Peneliti  Pusat Penelitian Kependudukan LIPI mengatakan, kesuksesan yang sementara ini mampu diraih Jepang dalam menghadapi pandemi COVID-19 dapat dilihat dari sejarah panjang mitigasi bencana. Risk culture bencana menjadi bagian penting. “Dua poin risk culture yang dapat dipelajari dari Jepang yaitu:  komunikasi risiko yang jelas dan kesadaran untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri”, katanya. Syarifah mencontohkan, pemerintah Jepang menerapkan imbauan khusus yang sangat sederhana, yaitu hindari  3C (San Mitsu) yang dapat memberikan arahan untuk menghindari: closed spaces (ruangan tertutup), crowded places (tempat ramai), dan close – contact (kontak dekat). Akhirnya, penerapan  3C terbukti mudah diingat oleh masyarakat untuk dilaksanakan sehari-hari.

“Akan tetapi, pekan ini Jepang kembali menghadapi gelombang kedua COVID-19 dengan kenaikan angka menjadi 795  kasus baru, per 22 Juli 2020. Bertepatan dengan dimulainya kampanye pariwisata GO TO yang diluncurkan pemerintah Jepang untuk mendorong wisata domestik. Kampanye ini akan berdampak pada beberapa prefektur populer di Jepang, seperti: Tokyo, Aichi dan Osaka yang dikhawatirkan akan  mengancam terjadinya penyebaran virus lebih luas”, sebut Syarifah. Lebih lanjut dirinya mengatakan, penting bagi Indonesia untuk melakukan refleksi dan memetik pelajaran dari Jepang agar tidak terlalu cepat melakukan victory lap sebelum penyebaran virus dapat betul-betul dikendalikan. (swa/ed:mtr)